Lihat ke Halaman Asli

Puspita

Diperbarui: 24 Juni 2015   15:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pertemuan saya dengan Puspita terjadi sekitar enam tahun yang lalu. Saat itu kami masih berstatus sebagai mahasiswa di kampus yang sama. Bagi saya pribadi, pertemuan itu tersimpan dalam folder “waktu yang melambat” yang menghuni gudang memori saya. Hanya sekian detik saja saya memandangnya, dan barangkali Puspita juga memandang saya setelahnya. Namun, kami tidak pernah saling berpandangan. Kami tidak pernah berkenalan.

Anggap saja waktu setelahnya berjalan lebih cepat. Seiring bergantinya kalender akademik, saya akhirnya tahu jika namanya Puspita. Saya berterimakasih banyak pada jejaring sosial. Dan barangkali dengan cara itulah Puspita tahu nama saya.

Walaupun saya dan Puspita satu angkatan, tetapi kami tidak pernah sekelas. Oke, saya memang jarang masuk kelas. Kami tidak ikut dalam satu organisasi kampus yang sama. Kami tidak pernah terlibat dalam satu momen bersama. Satu-satunya tempat yang sama-sama sering kami kunjungi adalah kantin kampus, di jam makan siang.

Puspita selalu memesan air putih es. Ganjil.

Memori tentang Puspita berikutnya yang termasuk kedalam folder “waktu yang melambat” adalah saat saya berbincang untuk pertama kali dengannya, berdua saja. Saya ingat betul, waktu itu tahun kedua kuliah, saat saya sedang memegang kamera DSLR milik sepupu yang hobi fotografi. Puspita mendatangi saya, senyumnya mengembang. Dunia tak lagi melambat, dunia berhenti sejenak.

Ternyata semua wanita sama. Dibalik senyumnya yang menggoda, wanita selalu ada maunya. Setelah basa-basi seperlunya, Puspita meminta bantuan saya untuk ikut kedalam proyeknya kompetisi nasional karya tulis bertema problem sosial, sore ini. Katanya dia membutuhkan fotografer untuk pembuatan monograf-nya mengenai waria.

Bukan, bukan saya tidak mau menolong, tapi saya pernah punya wall of shame dengan waria. Tempo hari, di pasar tumpah setiap minggu pagi di kampus, saya pernah dicolek waria yang buah dadanya kemana-mana. Mengenakan stoking jaring-jaring, dengan sadisnya waria itu tiba-tiba mengelus pipi saya dan memanggil saya ganteng. Ngilu saya mengingatnya.

“Oke.”

“Wah, makasih banget ya!”

Ada kalanya pikiran tidak sinkron dengan perkataan. Baru beberapa menit setelahnya saya tersadar telah menjadi korban hipnotis wanita bersenyum manis.

Mati-matian saya terlihat tegar dihadapan Puspita dan waria-waria yang sedang diwawancarainya. Sore itu memang sedang ada semacam arisan waria di salah satu sudut pemukiman yang memang terkenal sebagai sarang waria. Puspita mengaku baru tahu kalau ada arisan absurd itu siang tadi, dan bingung mencari siapa fotografer yang bisa membantunya. Sampai ia tidak sengaja bertemu saya. Yah, setidaknya saya berhasil menjadi pahlawan berkalung DSLR.

Momen saat saya menjepret Puspita secara candid (dan zoom in) juga termasuk kedalam folder “waktu yang melambat.” Saya punya kesempatan untuk mengamati Puspita secara lebih komprehensif. Senyum manisnya, sebaris giginya yang putih yang satu diantaranya agak gingsul, gusinya yang nampak setiap dia meringis, pipinya, matanya yang sayu tapi berbinar-binar ketika tertawa, kulit yang putihnya pas, hidungnya yang tidak bisa dibilang mancung, jari-jari panjang yang lentik, bulu-bulu halus di punggung tanggannya, ah atau kumis halus diatas bibirnya. Dan jilbab biru tua yang menghiasi kepalanya membuat saya semakin penasaran seperti apa rambutnya. Lurus kah? Keriting kah? Atau berombak kah? Pikiran saya mulai kemana-mana.

Esoknya, saat hendak mentransfer hasil jepretan waria ke laptopnya, saya hampir saja melakukan satu kesalahan fatal, sefatal Ken Arok yang menikam Empu Gandring. Untung saja saya bergerak senyap dan cepat. Saya menyortir dan hanya mentransfer separuh foto-foto hasil jepretan saya kemarin. Separuh sisanya adalah foto-foto Puspita.

Semenjak saat itu saya berteman cukup akrab dengan Puspita. Kami sering ngobrol di kampus, kebanyakan tentang perkuliahan dan hal remeh-temeh lainnya. Saya pun semakin mengenal Puspita, bahwa sebenarnya dibalik sikapnya yang kalem berikut keanggunannya, Puspita juga bersumbu pendek. Keras kepala dan mudah naik darah.

Dan keputusan saya sudah bulat, saya akan mengutarakan perasaan saya kepada Puspita. Kopi pahit di cafe murah itu semakin memantapkan niat saya. Tetapi, pengakuan saya tetap tersimpan rapi sampai sekarang. Karena beberapa detik setelahnya, saya melihat Puspita turun dari mobil sedan berwarna silver, bersama seorang lelaki.

“Kenalin, ini pacarku,” katanya sambil tersipu malu.

Dada saya serasa diinjak-injak gorila.

***

Pagi ini saya mendapat tugas mulia dari pimpinan redaksi. Saya diminta untuk mewawancarai seorang aktivis LSM yang juga novelis muda. Kata seorang rekan, novel barunya bercerita tentang problem sosial yang ada di masyarakat ibukota. Seperti waria, anak jalanan, gelandangan, dan kaum-kaum termarjinalkan lainnya. Kata pimpinan redaksi, tema ini cocok untuk edisi minggu depan.

“Ini novelnya. Inspiratif dan penulisnya juga cantik!” begitu kata rekan kerja saya berapi-api.

Cover novelnya bergambar segelas air putih es. Novel itu berjudul “Waktu yang Melambat” dan penulisnya bernama Puspita.

Yogyakarta, 2013.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline