Lihat ke Halaman Asli

Analisis Nilai Persahabatan dalam Puisi "Entah" Karya Silvia Ratna Juwita

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sebelum mengobrak-abrik puisi "Entah", mari kita secara bersama baca perlahan dan renungi, sekali, dua kali, dan bila belum "srek", teruslah dibaca ... Puisinya sebagai berikut.

Entah

sebentar malam, jangan kau pergi
duduk sebentar temani gundahku
tentangnya...
yang lama tak kujumpa
kutemui di tengah keramaian
ketika matahari lekas hentikan pendarnya
dia...
senyumnya pekat di mimpiku
suaranya mengiang
menjadikannya kisah singkat
yang sulit kulebur untuk sekedar jadi kenangan
malam...
waktumu tak banyak lagi temani kubercerita
tentang kisah ini
tentang rasa,
yang tak tahu lagi ke mana kan berarah
pergilah malam...
biar kumengadu saja pada embun esok
entah apa lagi yang kan kuadu
mungkin hanya sebongkah tangis
pereda rindu

Silvia Ratna Juwita
Minggu, 12 Desember 2010, 21:42

Sumber puisi dari catatan facebook Silvia Ratna Juwita.

Puisi yang ditulis pukul sembilan malam lewat empat puluh dua menit tersebut, tentulah mengundang "curiga". Adakah hal spesial dengan "waktu itu", atau malah hanya berdasarkan "mood" belaka, yang karena obsesitas, maka sedetail mungkin ditulis??? Atau ada opsi lain, mengapa judulnya "Entah"??? Mengapa pula dihubungkan dengan "malam", dengan "dia", dan dengan "embun"??? Adakah hirarki??? Atau malah permainan kata saja??? Hem, ada rahasia??? Bisa jadi, semua serba mungkin. Namun, dalam analisis ini, saya menitikberatkan pada nilai-nilai "persahabatan" yang terkandung dalam puisi ini. Selamat membaca.

Kita coba cuplik bait pertama. Ops! Ternyata hanya satu bait dalam puisi ini. Oke, puisi prosais ini, lebih mirip puisi prosais mini. Sebuah bentuk baru (puisi cerita singkat) yang lebih bebas dan ekspresif. Mari kita tukil baris ke-1 sampai ke-6. Puisi itu berkata, /sebentar malam, jangan kau pergi /duduk sebentar temani gundahku /tentangnya... /yang lama tak kujumpa /kutemui di tengah keramaian /ketika matahari lekas hentikan pendarnya/. Bila kita perhatikan secara saksama, maka akan terlihat bahwa baris-baris ini lebih memperlihatkan kepada kita sebuah dialog daripada sederetan puisi: sebuah pembicaraan yang mengajak lawan bicaranya untuk /duduk sebentar/. Semisal antara kamu dan aku, yang kemudian, si aku berujar, "Jangan dulu pergi. Duduklah barang sebentar, temani aku. Kukan curhat, curhat tentang dia." Dan secara implisit, jawaban kamu adalah, "Iya. Kukan duduk, dan mendengarkan ceritamu." Pembicaraan antara kamu dan aku, lalu beranjak pada aktivitas yang lebih dituju, yaitu curhat. Curhatan yang lebih kurang seperti ini, "Kau tahu, dia adalah orang yang lama tak kujumpa (berarti sebelumnya mereka pernah bertemu), kutemui dia waktu itu di tengah keramaian, waktu itu hampir magrib (malam) /ketika matahari lekas hentikan pendarnya/."
Baris selanjutnya, yaitu ke-7 sampai ke-11, /dia... /senyumnya pekat di mimpiku /suaranya mengiang /menjadikannya kisah singkat /yang sulit kulebur untuk sekedar jadi kenangan/ makin memperjelas akan isi curhatan si aku kepada si kamu. Secara eksplisit, sudah dapat kita cerna, betapa dia selalu hidup dalam pikiran si aku: mulai dari senyumnya, suaranya, dan hal ihwal tentang dia. Kata si aku /... sulit kulebur untuk sekedar jadi kenangan/. Namun, titik beratnya bukan pada cinta atau rasa sayang antarinsan berlainan jenis, tapi di sini lebih kepada kesetiaan seorang sahabat untuk tetap duduk mendengar curahan hati sahabatnya yang gundah. Kesetiaan sahabat yang duduk itu, patut kita perhatikan sebagai suatu pertanda bahwa, pacar bukan segalanya, bisa saja pacar kita malah memalingkan muka saat kita bercerita, tetapi seorang sahabat, justru dia dengan ketabahannya tetap fokus untuk mendengarkan kegelisahan sahabatnya. Dengan mencoba memberi masukan-masukan, saran-saran konstruktif, dll.
Pada baris selanjutnya, yaitu baris ke-12 sampai ke-16, si aku berkata, /malam... /waktumu tak banyak lagi temani kubercerita /tentang kisah ini /tentang rasa, /yang tak tahu lagi ke mana kan berarah/. Ini artinya, sesi akhir curhat telah menemui pintunya, dan bukan nada "mengusir" aku kepada si kamu, melainkan si aku tahu bahwa si kamu juga memiliki aktivitas lain yang lebih prioritas daripada mendengar cerita, atau si aku tahu, bahwa si kamu memiliki kesibukan, atau sia aku tahu, bahwa malam makin larut, jadi tak enak hati untuk menahan sahabatnya terus mendengarkan ceritanya. Semua bisa saja, semua mungkin. Yang jelas, saling pengertian di sini sangat dominan, aku dan kamu, sama-sama mengerti kebutuhan: si aku butuh ceritanya didengarkan dan diberi komentar, sedangkan si kamu butuh istirahat (tidur karena sudah larut malam) atau juga melakukan aktivitas lain yang dipandangnya lebih penting. Semua kebutuhan masing-masing itu, terpenuhi. Dan mendapatkan posisinya yang laik.
Puisi "Entah" ini, ditutup oleh si aku dengan perkataan, /pergilah malam... /biar kumengadu saja pada embun esok /entah apa lagi yang kan kuadu /mungkin hanya sebongkah tangis /pereda rindu/. Sangat puitis bukan? Si aku memilih dua kata untuk menjadi "ekor" dalam puisinya ini: /pereda rindu/. Suatu ungkapan segar dan memikat. Dalam makna, syarat akan pesan dan rasa, juga asa.

Demikianlah analisis sederhana akan puisi "Entah" ini yang bernilai "persahabatan", bahwa kesetiakawanan, kemengertian, dan saling memenuhi "kebutuhan" antarsahabat adalah hal yang mulia dan berharga. Tentu saja, ini terjemahan saya akan puisi "Entah" ini. Bila ada yang lain yang menemukan dalam puisi ini setelah membacanya, maka saya katakan, "Siapa juga berhak untuk mengapresiasi suatu karya dari kacamatanya masing-masing. Yang penting, saling menghargai."

Psanggarahan,
Warnet pinggir jalan.
13:48




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline