Lihat ke Halaman Asli

Catatan Rekaman Ketelanjangan

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

12988237151483686263

Sejak ditemukan, perangkat rekam video terus berevolusi dalam wujud yang lebih kompak, salah satunya diaplikasikan menyatu dengan dengan gadget atau perangkat komunikasi, sehingga setiap orang mudah untuk merekam apa saja, kapan saja dan dimana saja. setiap temuan memiliki dua sisi, sisi positif dan negatif, tapi bagaimana sisi-sisi itu ditampilkan, tegantung kepada seseorang yang menggunakannya.

Kalau dahulu seorang Narssisus tergoda untuk terus menerus menatap bayangannya dengan bercermin dipantulan air, saat ini semua orang tergoda untuk selalu melihat pantulan dirinya melalui perangkat rekam video dalam aneka rupa dan jenis.

Kasus video “telanjang” yang dilakukan oleh artis ternama, telah ditelanjangi habis-habisan oleh masyarakat Indonesia, vonis hukuman penjara tiga setengah tahun telah dijatuhkan kepada salah satu terdakwa pelaku. Hal ini membuktikan betapa kadang teknologi sedemikian dahsyat efeknya, kenapa semua ini bisa terjadi?. Salah satu faktor utama adalah norma kehidupan yang berlaku di Indonesia, negara dengan masyarakat agamis, sangat menjunjung tinggi norma-norma sosial kehidupan beragama, yang sangat menentang ketelanjangan yang dipertontonkan, apalagi ketelanjangan tersebut tidak sah. Mempertontonkan ketelanjangan itu pasti akan dianggap mengidap penyakit “gangguan jiwa”, sebagaimana “ketelanjangan” orang gila, yang sering kita temui dijalan-jalan.

Keberadaan norma sebagai kontrol sosial tentunya memiliki akibat yang besar. Apabila tatanan norma kehidupan dilanggar, pelakunya akan dikucilkan, dihujat bahkan “ditelanjangi” oleh semua elemen masayarakat dan penegak hukum. Sedemikian dahsyat hingga kadang masyarakat lupa dan terlena oleh kasus “ketelanjangan” ini.

Presiden, menteri, pengacara, kejaksaan,  organisasi masyarakat, kepolisian, artis, tokoh agama, tokoh nasional, ahli telematika, anggota DPR, televisi, koran, radio, pengguna internet, warung kaki lima,  pedagang keliling, tukang ojek, pelajar, mahasiswa, pemain bola, ibu-ibu, sopir angkot, karyawan pemerintah, karyawan swasta semuanya begitu serius menyampaikan kesan dan pesan tentang kejadian “rekaman telanjang”,  yang akhirnya menjadikan kasus ini begitu “meledak” tumpah ruah dan berlebihan untuk diperbincangkan.

Mulai dari pagi hari hingga tengah malam semuanya tentang “rekaman ketelanjangan”, koran, televisi, mall, warung kaki lima, emperan toko, pelajar, pekerja ruang peradilan, semuanya seolah terjebak dalam aib “ketelanjangan”. Sebagian memanfaatkan momen ini sebagai komoditi  ungulan : keeping dvd bajakan , tajuk berita utama, tayangan program utama, materi talkshow, seminar, pendapat ahli dan lain sebagainya.

“Ketelanjangan” menjadi sangat tabu melebihi kasus dan masalah-masalah yang lain : masalah korupsi, masalah ketidakadilan, masalah perampokan, masalah penyelewengan uang negara, masalah ekonomi, makelar kasus dan beragam kebobrokan yang sering dipertontonkan lebih “telanjang” di Indonesia.

Ketelanjangan yang disuguhkan kali ini memang beda selain faktor kesengajaan dan kebocoran data. Pemeran ketelanjangan ini adalah publik figur  yang tidak tunggal alias lebih dari satu. Rekaman hubungan yang tidak sah layaknya suami istri ini terekam dengan kualitas “baik”. Sedemikian “baiknya” hingga bisa diakses oleh semua kalangan dari berbagai usia. Bahkan karena “kebaikan kualitas gambar dan pelakunya ” sehingga layak untuk di gandakan dan diperjualbelikan.

Tidak ada yang salah dengan merekam gambar atau video, tidak salah pula setiap manusia menjalin hubungan dan melakukan ketelanjangan. Semuanya akan menjadi salah bila dilakukan tidak pada tempatnya, apalagi tidak sah dan bertentangan dengan norma kehidupan sosial beragama. Kasus mengenai rekaman telanjang sudah ada sejak lama, dengan tipikal pelaku yang berbeda-beda, namun perkembangan teknologi informasi dan komunikasi memberikan dampak yang berbeda pula. Kemudahan perpindahan dan transfer data menjadikan ketelanjangan bocor menjadi lebih telanjang, dengan efek dan pengaruh yang lebih luas, sehingga terlihat sangat telanjang dimata masyarakat dan hukum.

Sebuah “rahasia” hubungan tidak sah yang terlanjur terekam, momen pribadi yang seharusnya hanya dilihat oleh yang pelakunya saja, menjadi sangat salah bila bisa di nikmati oleh semua kalangan dan segala umur. Sedangkan film saja yang jelas-jelas produk tayangan, mesti melewati lembaga sensor  dan ada klasifikasi umur bagi penontonnya, dan ditonton di tempat-tempat yang memang untuk menonton. Alangkah baiknya kita belajar dan memberikan pembelajaran bagaimana sebaiknya merekam itu. rekaman adalah sebuah pengabadian momen/peristiwa, Perlukah kita merekam sebuah ketelanjangan ? dan perlukah kita terpengaruh untuk menikmati ketelanjangan ? perlukah kita menelanjangi pengaruh ketelanjangan ?.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline