Sebagai alumni Universitas Darul Ulum (Undar), saya merasa sangat prihatin dengan kemelut yang terjadi saat ini. Kebijakan Menteri M. Nasir yang membekukan almamater saya telah menimbulkan erupsi akademik dan membuat kekalutan ribuan mahasiswa yang namanya tercatat dalam database Direktorat Pendidikan Tinggi.
Meski berat, saya tetap berkhusnudzon untuk meletakkan kebijakan tersebut dalam kerangka ikhtiar menyelesaikan konflik internal yang sudah berjalan lebih dari sepuluh tahun ini. Konflik Undar disebabkan oleh persoalan yang cukup komplek. Dalam keterbatasan pandang yang saya miliki, silang sengkarut ini dipicu dari minimnya kerendahhatian para pihak di internal yayasan untuk bisa berjalan bersama membesarkan kampus ini. Kekacauan saat ini menjadi penting untuk direfleksikan bersama bahwa berlarut-larutnya konflik ini membuktikan gagalnya model penyelesaian konflik berbasis MENANG-KALAH. Jika paradigma win-lose ini dipaksakan terus-menerus, maka yang tersisa hanyalah warisan luka menganga bercampur dendam pada pihak yang merasa kalah.
Oleh masyarakat, kampus yang pernah dinahkodai Gus Dur ini memang sudah dianggap milik publik. Akan tetapi secara de jure kita tidak bisa menafikan statusnya yang masih berbentuk Yayasan. Posisi dan peran Bani Mustai’n Romly dalam badan hukum tersebut masih sangat kuat dan berpengaruh. Hal ini sekaligus berarti ijtihad menyelesaikan konflik ini harus bertumpu pada tercapainya kata sepakat (kalimatun sawa’) di antara anggota Bani Mustain Romly. Perlu juga direnungkan lebih mendalam bahwa konflik ini telah melahirkan ekses tambahan (collateral damage) yang sangat merugikan publik sebagai stakeholder utama kampus ini. Yakni, terkait penyelenggaraan pendidikan tinggi yang berada DI LUAR SISTEM yang telah ditetapkan oleh perundang-undangaan.
Terlepas kita setuju atau tidak, model pendidikan ini senyatanya telah melahirkan puluhan ribu lulusan yang membawa cacat akademik. Mereka ibarat zombie yang siap menyebarkan virus ‘kuliah mudah’ ke lingkungannya. Bahkan yang memilukan, zombie-zombie ini -tanpa rasa malu- acapkali bertindak sebagai broker yang menangguk untung dari ‘mahasiswa baru’ yang 'digigitnya'. Dengan berbekal uang Rp. 14-18 juta ditambah ritual ‘kuliah’ ala kadarnya selama setahun, mereka bisa mengantongi ijasah dari fakultas yang mereka pilih. Apapun justifiksinya, praktek jual-beli ijasah aspal ini sangat mencoreng wajah kampus ini dan mengkhianati cita-cita luhur yang telah dipancang lama KH. Mustain Romly.
Sebagai alumni, saya merasa perlu menyampaikan beberapa hal. Pertama, mendesak kepada Menristek Moh. Nasir untuk tidak mempolitisasi kemelut yang terjadi di Univ. Darul Ulum. Kedua, mendukung upaya hukum penyelesaian apa yang oleh media disebut sebagai kasus wisuda dan ijazah ilegal.Ketiga, menyerukan kepada semua pihak untuk mampu menahan diri dan tidak melakukan tindakan-tindakan yang bisa memperkeruh suasana. Keempat, meminta dengan hormat kepada para pihak di keluarga Bani Mustain Romly, terutama Ning Aah, Ning Eyik, Ning Nis, Gus Luk, dan Gus Mujib untuk sekuat tenaga menahan ego masing-masing serta mengedepankan dialog, dialog dan dialog dalam rangka mencari solusi terbaik untuk memajukan kampus ini. Hal ini penting agar ribuan mahasiswa dan puluhan ribu alumni tidak lagi menjadi korban.Demikian pandang saya.Jombang, 7 Juni 2015 Aan AnshoriMikom 1995 - Hukum 2011@aananshori
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H