Lihat ke Halaman Asli

Em Amir Nihat

Penulis Kecil-kecilan

Cerpen | Menghadiri Acara Aneh

Diperbarui: 7 Februari 2019   20:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pada malam sunyi nan senyap sesekali suara longlongan serigala terdengar dengan jelas di telinga. Bunyi debar jantungku semakin keras bersama perjalananku menuju acara itu. Gesekan sendalku menyeruak ditengah kesunyian malam. Asap-asap putih tiba-tiba keluar entah dari mana arahnya. Aku terus berjalan menyusuri lorong demi lorong rumah warga.

Sepi dan sunyi.

Walaupun begitu nyala semangatku tidak akan pernah padam walau diterjang hantu sekalipun. Bagi masyarakat awam sepertiku hantu yang nyata adalah harta gonogini yang menjadi rebutan para ahli waris yang dulunya akur menjadi saling mungkur. Selain itu, para hantu dijadikan sahabat. Kadang-kadang ada yang menampakan diri dengan bau singkong, suara entok ataupun suara batu yang berbunyi.

Perjalananku berlanjut, lorong demi lorong ku susuri. Sampai tiba aku di acara itu. Meskipun terlambat, aku sempat menyaksikan tetua kampung berpidato untuk terakhir kalinya sebab ia akan turun tahta tidak menjadi tetua kampung lagi, tetapi dalam anganku sepertinya layak disebut pengajian. Biasanya kalau pengajian hanya berdiri atau duduk dikursi diatas panggung, namun beliau dijaga oleh empat asistennya. Semuanya mengapit beliau sehingga ruang panggung yang kosong kini menjadi sempit dalam bayangan beliau. Sementara para warga mendengar dengan seksama. Entahlah apakah ia disetir oleh asistennya atau tidak itu masih menjadi misteri.

Tetua kampung berkata,
"Sebagai tetua kampung saya berwasiat. Kita harus menjaga warisan budaya kita. Kita harus mencair jangan memadat. Kita harus minimalis jangan matrealis."

Tepuk tangan menggema. Seluruh warga tampaknya puas dengan kinerja beliau. Terlihat dari sumringahnya.

Tiba-tiba keanehan terjadi dan ini membuatku kaget. Beberapa kuda aneh berjejer urut melaju di depan panggung itu.

Kuda pertama berkepala tikus. Hal ini memacing kebanggaan warga sebab kuda ini terkenal akan kepiawainya memimpin warga kaya raya utamanya yang berkecimpung dalam ajaran "minta disogok aah minta disuap croot"

Kuda kedua lewat, kuda ini berkepala kumbang. Kata MC-nya kuda ini kabur dari hutan sebab hutan semakin gundul dan banyak lubang-lubang sisa tambang batubara. Tambang ini dimiliki oleh Pak Hutul dan Pak Dasni. Dua orang ini sedang bertarung untuk menjadi tetua kampung baru.

Dari panggung suara sorak-sorai semakin meriah, tabuhan gamelan yang berjejer semakin sahdu walau ditabuh oleh lima anak kecil berbaju robek-robek.

Aku pun bertanya-tanya,

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline