Lihat ke Halaman Asli

Em Amir Nihat

Penulis Kecil-kecilan

Cerpen | Singa Sableng di Negeri Gila

Diperbarui: 14 November 2018   21:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. Pribadi

Air matanya menggenang membasahi pipi keriputnya yang semakin layu. Harapan akan datangnya angin semilir kian hampa, sedangkan singa sableng itu tertawa diatas perilaku hitamnya. Aib dan dosa bisa ditawar sedemikian rupa sebab di Pengadilan Negeri Gila, bukan lagi benar salah tetapi menang atau kalah. Dan disitu ada harga.

Pada malam ketiga bulan lalu, mendung tidak hanya menutupi langit yang megah dan kerlap kerlip bintang, tetapi dia yang tertatih diatas peraduannya juga dijagal. Singa sableng itu merobek-robek hatinya dengan ucapan yang senonoh dan tertawa gembira akan geliat alam nafsu yang membuncah di malam ketika sang singa itu bercumbu mesra dengan perempuan lain di hari yang kelabu. Ia melawan dengan akalnya. Disediakan kopi hitam paling bajingan, sebungkus rokok kretek dan alat rekam yang ia selipkan di saku celana belakang. Tentu ia berharap tangan jahil tak merogoh lebih dalam lagi.

Misi rahasianya berhasil. Seperti halnya Kartini yang pernah berucap : "Jangan mengeluhkan hal-hal buruk yang datang dalam hidupmu. Tuhan tak pernah memberikannya, kamulah yang membiarkannya datang." Ia melawan! Ia mengidolakan Kartini yang namanya terpatri di lembaran sejarah dan juga kertas berharga lima rupiah tempo dulu. Walau ia juga paham bahwa melawan singa itu berarti ia juga siap diterkam.

Singa sableng kepanasan ketika rekaman itu berhasil menjadi barang bukti. Kasus bergulir. Kejahatan akan redup dan kebaikan akan abadi. Habis gelap terbitlah terang. Dia seakan bangkit dari keterpurukannya membawa nyala semangat yang tidak akan bisa dipadamkan.

Namun di Pengadilan Negeri Gila tidak demikian. Uang adalah Tuhan, Pangkat adalah kuasa. Aib dan dosa bisa dicuci dengan lembaran kertas merah. Nama baik bisa diciptakan dengan tampilan. Citra bisa dikomersilkan. SKCK hanya untuk rakyat jelata. Ladang dipaksa dibeli menjadi kandang hewan memelihara kelapa sawit. Ladang dipaksa dibeli hanya untuk capung berduit. Ladang kerontang dilindas semen. Api membakar paru-paru dunia.

Sableng itu makin menjadi-jadi sebab kini naik pangkat dan penyintas terpuruk di pelantara zaman.

Hanya dongeng Kartini yang mencoba menyalakan api itu kembali,

"Teruslah bermimpi, teruslah bermimpi, bermimpilah selama engkau dapat bermimpi! Bila tiada bermimpi, apakah jadinya hidup! Kehidupan yang sebenarnya kejam!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline