Lihat ke Halaman Asli

A A Kunto A

CoachWriter | CopyWriter

Gowes Merdeka: Menaklukkan Tanjakan Terakhir

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pengalaman mengalahkan bayangan. Demikian kata-kata bisa diracik.

Semula, sebagian teman peserta Gowes Merdeka Jogja-Borobudur berniat untuk cukup memancal sepeda sampai di Ancol. Separo jalan. Dalam bayangan mereka, Borobudur teramatlah jauh. Sedari awal, mereka sudah yakin tidak akan sanggup menempuh. “Bolehkah kami ikut jika tidak sampai tujuan?” pinta mereka saat menyodorkan pendaftaran nir formulir.

Tentu saja boleh. Yang tidak boleh, seperti yang saya tulis di pengumuman fesbuk, adalah berhenti di tengah jalan. Kalau mau berhenti harus minggir. Jika di tengah, bisa tertabrak!

Maka, berbondong-bondonglah teman-teman itu ke Bundaran UGM, pagi 17 Agustus 2010, petang sebelum matahari terbit. Waktu menunjukkan pukul 05.00 wib ketika satu per satu mereka menampakkan hidung.

Sudah ada Bang Ugartua Rumahorbo saat saya tiba. Setelan kostum merah-merah khas atlet sepeda lintas nusantara menandai keseriusan abang yang hobi sepedaan ke kantor ini. Masih gelap, dari kejauhan saya tak mengenalinya. Beda sekali penampilannya dengan keseharian sebagai eksekutif Penerbit Erlangga yang termasyur itu.

Dari ujung telpon, Danu Primanto memberi kabar sedang dalam perjalanan setelah memastikan mendapatkan pinjaman sepeda. Entah teman yang mana yang ia perdaya. Yang terang, fotografer situs berita Jogja http://www.tourjogja.com ini datang secara sumringah, dengan wajah sendunya yang senantiasa tampak teduh.

Bambang MBK, wartawan aktivis Aliansi Jurnalis Independen (AJI), ngebut dari arah selatan. “Saya khawatir ditinggal,” bisiknya mendapati jumlah sepeda yang tidak sebanyak yang ia bayangkan. Ia pikir ini event akbar yang bakal diikuti ratusan atau ribuan peserta layaknya acara sepeda gembira yang kerap digelar di Jogja.

Dari arah punggung, turun dari lereng Merapi, dengan satu-satunya sepeda lipat yang ikut, datang Wisnu Nugroho (Inu), wartawan Kompas penulis buku Pak Beye dan Istananya (Penerbit Kompas, 2010). Berkaos “45 Tahun Kompas Merajut Nusantara”, ia seperti hendak melanjutkan keikutsertaan dalam gowes Surabaya-Jakarta tempo hari yang sempat diikutinya di sepenggal rute saat peserta melintas di Jogja.

Berturut-turut teman-teman lain datang. Chandra Sena, Laga, Haris, Sugeng, Wompy, dan Bayu, dari Komunitas Gowes Koprol Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Ada yang penuh semangat sejak beberapa hari lalu, ada yang baru semalam memutuskan ikut gara-gara dibujuk kiri-kanan.

Ada kejutan. Dua teman cewek ikut serta pula. Kejutannya bukan karena mereka cewek. Bukan pula karena mereka belum pernah bersepeda jauh. Lalu?

Mereka datang tergopoh-gopoh. Dari arah timur. Saya pikir, mereka sedang berpacu dengan matahari –dan mereka menang. Masih gelap saat mereka datang. Saya tidak lekas menyapa karena mereka, Anka dan Yuyut, langsung duduk di bibir boulevard. Anka menyelonjorkan kedua kakinya. Ia menambal kedua lututnya dengan kapas. Ups, ternyata habis terjatuh. “Tadi waktu lewat Jalan Solo, ada orang gila nglempar batu ke kami. Kami jatuh. Yuyut tak luka. Orang gila itu lari mendekat, kami pun lebih dulu lari,” ungkap Anka tanpa meminta iba. Hebat, mereka memutuskan untuk maju terus!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline