Pengasuhan anak tidak hanya sekadar menyediakan kebutuhan fisik atau akademik, tetapi penting juga membangun pondasi pada anak sehingga memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Goleman (1995) memaparkan bahwa kecerdasan emosional dapat didefinisikan sebagai kemampuan pemrosesan dicampur dengan kemampuan alami atau yang dipelajari kecenderungan untuk bereaksi terhadap situasi emosional dengan cara yang positif dan efisien.
Kemampuan Kecerdasan emosional mencakup tiga dimensi, diantaranya kemampuan memahami emosi secara akurat, kemampuan membangkitkan emosi, dan kemampuan mengatur emosi. Dengan kecerdasan emosional, seseorang dapat memanfaatkan kesadaran emosinya untuk memandu dalam memecahkan masalah, mengelola frustrasi dengan lebih baik, dan bersabar untuk mencapai tujuan.
Mengapa Kecerdasan Emosional Itu Penting?
Kecerdasan emosional memiliki peran penting dalam kehidupan seseorang, terutama dalam menentukan kesuksesan di masa dewasa. Penelitian menunjukkan bahwa kemampuan bergaul dan menjalin hubungan dengan orang lain sering kali menjadi prediktor kesuksesan yang lebih signifikan dibandingkan prestasi akademik atau kemampuan kognitif. Anak-anak yang dilatih untuk mengelola emosi mereka cenderung lebih percaya pada perasaan mereka sendiri, mampu mengatur emosi dengan baik, serta memiliki keterampilan pemecahan masalah yang efektif. Kecerdasan emosional juga berkontribusi pada pengembangan harga diri yang tinggi, kemampuan belajar yang lebih baik, serta hubungan interpersonal yang lebih harmonis karena mereka mahir membaca dan memahami isyarat komunikasi.
Lebih lanjut, kemampuan ini membantu individu memiliki kesadaran dan kendali atas tindakan mereka, sehingga dapat menurunkan tingkat stres, meningkatkan kesehatan, dan memperkuat sistem kekebalan tubuh. Dalam kehidupan sosial, kecerdasan emosional memungkinkan seseorang membangun persahabatan yang memuaskan dan hubungan intim yang langgeng. Individu yang cerdas secara emosional juga mampu menenangkan diri, tetap fokus, dan berpikir jernih saat menghadapi situasi menantang, serta menjadi lebih tangguh dalam menghadapi perubahan dan tekanan hidup.
Bagaimana Emosi Anak Berkembang?
Perkembangan emosi anak dimulai sejak lahir. Bayi sudah menunjukkan emosi dasar seperti senang, marah, dan takut pada usia 6 bulan pertama. Saat menginjak usia 6 bulan hingga 2 tahun, anak mulai mengalami emosi yang lebih kompleks, seperti rasa malu, bangga, atau bersalah. Memasuki masa kanak-kanak, mereka belajar memahami bahwa satu situasi dapat memicu lebih dari satu emosi, misalnya merasa senang sekaligus cemas saat menghadapi sesuatu yang baru.
Selain itu, kemampuan anak untuk mengendalikan emosi juga berkembang seiring waktu. Di usia sekolah, mereka mulai mampu menahan amarah, mengekspresikan rasa frustrasi secara lebih tepat, dan menunjukkan empati terhadap orang lain. Lingkungan, terutama pola asuh orang tua, sangat memengaruhi perkembangan ini. Hubungan yang hangat dan responsif dari orang tua, guru, atau pengasuh dapat membantu anak belajar mengelola emosinya dengan lebih baik.
Daniel Goleman membagi EQ menjadi lima aspek kemampuan, antara lain:
- Kesadaran diri terhadap emosi : Mengenali dan memahami apa yang kita rasakan.
- Mengelola emosi : Mengendalikan rasa marah, frustrasi, atau stres agar tidak meluap-luap.
- Motivasi diri : Tetap bersemangat dan bertanggung jawab dalam menghadapi tantangan.
- Empati : Mampu memahami perasaan orang lain.
- Keterampilan sosial : Menjalin hubungan baik, menyelesaikan konflik, dan bekerja sama dengan orang lain.
Kelima aspek kecerdasan emosional ini menjadi fondasi penting bagi anak untuk menghadapi tantangan hidup, menjalin hubungan yang sehat, dan mencapai kesejahteraan emosional di masa depan.
Peran Emotion Coaching dalam Pengasuhan
Menurut John Gottman, emotion coaching adalah pendekatan di mana orang tua menggunakan pengalaman emosional anak, terutama emosi negatif, sebagai kesempatan untuk mendidik dan memperkuat hubungan mereka. Dalam pendekatan ini, orang tua tidak mengabaikan emosi anak atau memarahi mereka karena menangis atau marah. Sebaliknya, orang tua membantu anak memahami emosi yang mereka rasakan dan memberikan panduan untuk menghadapinya.
Gottman merumuskan lima langkah penting dalam emotion coaching:
- Menyadari emosi anak : Orang tua harus peka terhadap perasaan anak, bahkan emosi yang sulit seperti marah atau cemas.
- Melihat emosi sebagai peluang untuk belajar : Emosi, terutama yang negatif, dapat menjadi momen untuk mengajarkan anak cara mengelola perasaan mereka.
- Mendengarkan dengan empati : Penting bagi orang tua untuk mendengarkan dan memahami perasaan anak tanpa menghakimi.
- Membantu anak memberi nama pada emosi : Anak perlu diajari untuk mengenali emosi yang mereka rasakan, misalnya dengan mengatakan, “Kamu kelihatannya marah” atau “Sepertinya kamu sedang sedih.”
- Membimbing anak menyelesaikan masalah : Orang tua tetap harus menetapkan batasan perilaku, tetapi juga membantu anak mencari solusi yang lebih baik saat menghadapi situasi sulit.