Bulan Desember 2021, saya membeli dua cangkir lombok di Pasar Wuring, Maumere, Kabupaten Sikka, seharga sepuluh ribu rupiah. Selain untuk konsumsi, saya sudah berniat hendak mengambil bijinya untuk disemai.
Di Pasar Wuring, dan sepertinya di sebagian besar daerah di Flores lainnya, lombok tidak dibeli per kilogram melainkan per cangkir.
Para penjual akan menakar lombok dengan cangkir plastik sebelum memasukkannya ke dalam kantung. Membelinya cukup dengan mengatakan, "beli dua." Maka sang penjual sudah bisa tahu bahwa yang kita hendak beli adalah lombok sebanyak dua cangkir.
Soal takar menakar itu cukup jadi perhatian saya ketika pertama kali datang ke Flores tahun 2018 silam. Kebanyakan bahan pangan mentah di pasar dijual berdasarkan per kumpulan-kumpulan, bukan menggunakan perhitungan berat.
Misalnya, hasil laut seperti ikan, udang, cumi-cumi dihargai dua puluh ribu rupiah per satu kumpul. Bagaimana para penjual itu tahu bahwa takarannya adil?
Saya menanyakan hal itu kepada beberapa orang. Jawabannya bisa diterka: feeling -- dengan mempertimbangkan berat dan ukuran secara kasatmata.
Balik ke lombok....
Selain dua cangkir dari Pasar Wuring, saya juga diberi Mama sejumput lombok yang dipanennya langsung dari kebun di halaman rumah.
Saya bilang hendak menanamnya di Bandung dan mencoba hasil panennya: apakah rasanya akan tetap sama dengan lombok yang ditanam di Maumere? Saya agak pesimis bisa mendapat rasa dan ukuran yang sama.
Sebuah artikel tentang lombok khas Flores pun menegaskan bahwa perbedaan ukuran dan tingkat kepedasan pada lombok sangat dipengaruhi oleh faktor agroklimat, terutama suhu dan kelembapan udara, ketersediaan air serta intensitas sinar matahari.