Sampai setua ini, saya masih punya cita-cita: tumbuh menjadi tua dengan menyenangkan, atau paling tidak, menjadi tua tanpa jadi menyebalkan. Dalam konteks ini, saya menulis tentang tua di usia dewasa tengah hingga akhir, 40 hingga 65 tahun, pada fase ketika midlife crisis biasa terjadi.
Meski usia belum tiba di kepala tiga, saya takut jika harus mengalami fase itu dengan menyebalkan dan membuat orang lain di sekitar tidak betah karena keberadaan saya. Maklumlah, saya lihat banyak orang muda yang jenuh jika harus dekat-dekat orang tua. Bisa jadi karena salah satu pihak kurang membuka diri sehingga menimbulkan konflik.
Baik orang muda maupun orang tua sebetulnya punya potensi menimbulkan konflik yang sama. Menjadi tua tidak serta merta menjadi lebih dewasa dan berpikiran terbuka. Menjadi muda juga bisa saja menyikapi hal-hal secara terlalu kuno dan konservatif. Saya sepakat dengan pendapat bahwa "tua" itu memiliki makna yang relatif.
Ketakutan jadi orang tua yang menyebalkan itu membuat saya belakangan lebih cermat mengamati relasi antar-generasi. Dengan kekuatan media sosial, relasi orang tua dengan anaknya jadi terbuka dan kelihatan lebih beragam.
Bahkan ada yang dianggap oleh masyarakat sebagai konflik absurd dan rasa-rasanya tidak mungkin terjadi: anak gugat orang tua, rebutan harta dengan ibu kandung, sampai pro-kontra anak titipkan orang tua di panti jompo. Ya wajar sajalah, sedekat apapun orang tua dengan generasi yang lebih muda atau anaknya sendiri, namanya juga hidup berdampingan, selalu saja ada pertentangan.
Jangankan dengan anak yang benar-benar anak, dengan generasi yang lebih muda pun konflik selalu terjadi. Itulah alasan saya menulis orang tua dengan "orang tua", bukan "orangtua". Konflik antar-generasi sepertinya akan selalu terjadi dari zaman ke zaman, tidak dapat dihindari. Bagi saya, konflik itu, ditambah bayang-bayang menjadi orang tua yang menyebalkan sangat menakutkan. Dugaan saya, ketakutan ini dilandasi oleh dua hal.
Pertama, saya sadar bahwa zaman bergerak cepat dan perubahan tak henti-hentinya terjadi. Salah satu konflik yang sering terjadi pada konflik antar-generasi adalah ini. Orang-orang muda ingin cepat beradaptasi dengan zamannya, sementara orang tua ingin tetap tinggal pada gaya hidupnya yang lama.
Orang muda ingin cepat mengikuti perubahan, sementara orang tua tak bisa buru-buru mengimbangi ritmenya. Dunia bergegas meninggalkan orang tua yang geraknya semakin lamban dan terbatas. Orang tua bingung, tertekan, dan mulai marah-marah. Sementara orang muda menganggapnya sebagai tekanan dan kekangan.
Antar-generasi kelihatan saling menekan, padahal yang terjadi mungkin semua orang hanya takut terhadap waktu.
Kedua, mungkin, saya sudah menginternalisasi banyak stereotipe tentang orang tua yang selama ini tersebar dalam masyarakat. Orang tua adalah sosok-sosok cerewet, konservatif, feodal, ingin selalu diutamakan, puber kedua, post power syndrom, suka membanding-bandingkan zaman yang lalu dengan zaman sekarang, tidak paham shaming, abai kesehatan mental, dan lain sebagainya.