Meski tahun politik masih terjadi sekitar 2-3 tahun lagi. Namun, nyatanya sudah banyak para politisi yang mulai mengambil ancang-ancang dalam mempersiapkan pertarungan untuk tahun 2024.
Bagi para politisi, setiap waktu sangatlah berharga untuk dapat dimanfaatkan dalam berkampanye, membangun identitas, ataupun personal branding ke masyarakat, dan lain sebagainya.
Kondisi ini semakin didukung pula dengan dipastikannya Joko Widodo tidak dapat mencalonkan lagi, setelah terpilih selama 2 periode.
Dengan demikian, publik harus mencari sosok atau model presiden yang baru. Maka tak ayal, di masa rentang menuju tahun politik 2024, para politisi sudah berlomba-lomba dengan agenda utama "merebut perhatian, simpati, dan suara rakyat" ketika pemilihan umum (pemilu) nantinya.
Lantas yang mengundang kontoversi ialah aktivitas-aktivitas tersebut dilakukan dengan tidak pas dan tepat. Banyaknya para petinggi partai yang masih menggunakan bentuk kampanye-kampanye konvensional alias kuno, yaitu dengan memasang baliho-baliho dengan jargon yang tidak memiliki visi-misi jelas terhadap urusan kebangsaan dan kenegaraan. Jargon hanya sebatas slogan tanpa diketahui adanya makna dibalik itu.
Alhasil, publik bertanya-tanya mengenai maksud motif serta kegunaan pemasangan baliho yang memenuhi setiap sudut ruang publik dengan sesak, di saat rakyat sedang kesusahan akibat pandemi Covid-19. Bahkan, di lokasi bencana sekalipun.
Padahal, kematangan sekaligus kedewasaan negara dalam berdemokrasi, pertarungan adu gagasan dan argumentasi menjadi faktor yang utama ketimbang para politisi mengendepankan untuk menjual sisi figur.
Demokrasi dalam Transaksi Ekonomi
Sistem demokrasi yang menghendaki adanya kebebasan dalam berpolitik, menjadikan setiap politisi bersaing untuk memperebutkan suara rakyat. Kekuatan majority rules dalam demokrasi ini mendorong para partai politik beramai-ramai menggunakan segala media yang mampu menarik perhatian masyarakat.
Maka, sebagaimana dalam pandangan Josep Schumpeter dalam karyanya "Capitalism, Socialism, and Democracy" (2006) yang menggambarkan fenomena kompetisi politik demokrasi, layaknya sebuah pasar dalam pereknomian.
Di mana para produsen/penjual seperti politisi/partai politik yang bertujuan agar dagangannya dibeli atau diri dan partainya dipilih. Sedangkan rakyat tidak lebih bagaikan konsumen/pembeli kepada produsen untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan dari konsumen.