Tersisa satu lagi perkara yang harus Tyo tunaikan. Urusan wasiat yang ditinggalkan bapaknya ini diwanti wanti adalah yang paling pokok dan sakral. Kendati sebelumnya ia telah diminta membangun gapura guna menyiangi makam bapak di kebun belakang rumah dan menyembelih seekor ayam cemani yang darah nya dia beberkan keatas liang makam itu. Maka jika hanya mengurus sepetak lahan semangka terlihat lebih sederhana dari wasiat bapak yang nyeleneh sebelumnya.
Namun rasanya sesuatu itu tidak berjalan demikian. Ia jadi ingat kenangan beberapa tahun silam bersama ayahnya.
"Le, inget opo nggak dulu waktu keluarga kita masih di pepet kesulitan ekonomi ?"
Pak sudarmanto mengibas ngibaskan kaus kutangnya kegerahan.
"inget pak."
"dulu, ibu mu sampe muter cari utangan buat ngelunasi biaya sekolah kamu. Beli susu aja direwangi gadaiin mesin cuci. Gaji bapak dari nggarap proyek ikut pak Prapto ndak cukup. Akhir nya ibumu usul buat nyambi kerja di lahan lungsuran kakek. Bapak nandur semangka di sana."
"..."
"kamu jangan anggap itu enteng lho le, semangka yang bapak tanam banyak mencurahkan nilai luhur dan moral. Kamu harus belajar jadi orang andap ashor layaknya tangkai semangka yang merambat, lambang rendah hati serta bijaksana. Kamu juga harus senantiasa bersabar dalam merawat juga mengelolanya.itu kunci utama. Lihat apa pernah bapakmu ini gagal semasa panen? Ndak to, itulah berkat ketlatenan berusaha. Bapak harap kamu ndak Cuma ngerti cara menikmati saja le,karena seorang laki laki itu dituntut tanggung jawab sama kerja kerasnya."
"njih pak."
Sekarang barulah Tyo merasa semesta memilihnya memikul beban berat ini.di tanah seperempat hektar ini ia menjemput takdirnya. Berangkat dari pengalaman semasa kecil ia berupaya menanam semangka persis yang di ajarkan ayahnya dahulu. Kendati ia adalah sarjana manajemen bisnis tak menyurutkannya untuk terjun langsung ke ladang. Bermula dengan membajak tanah, menguruk bedeng, menyemai bibit, hingga proses pemupukan ia lakoni sendiri.
Tak luput satu hal pun ia lakukan kecuali disertai dengan kelegawaan hati sekaligus menapaktilasi perjuangan peluh keringat bapaknya demi sesuap nasi. Ia menyesuaikandiri dengan pekerjaan barunya.rela tak rela , suka tak suka.
Memang benar, ia mendapati banyak persoalan atau juga hikmah yang hanya di pahami oleh petani, oleh orang kecil. Ia memandang semua dari kacamata yang berbeda. Namun di sisi lain ia juga mulai khawatir akan keberlangsungan toko yang ia tinggalkan lama kelamaan mulai terjadi penurunan laba dan konsumen setelah di pegang oleh Jayadi, tangan kanannya.
Ia bertutur pada istrinya bahwa akan kembali pada dunia bisnisnya setelah habis masa panen. Barangkali ia akan menyuruh orang lain menggarap lahan dari bapaknya itu.
"lha opo nggak malah menyalahi wasiat bapak, mas?"
"ya gimana lagi, toh juga buat kepentingan kita."
"yo wis mas, widya manut."
Dan suatu malam ia bermimpi. Rumahnya melebur dan dirambati tangkai melingkar. Atap gentengnya berubah menjadi daun berjari. Pekarangan nya menjelma tanah berundak. Tyo menatap kebingungan. Kemudian datang sebuah semangka seukuran tiga pelukan orang dewasa. Raja semangka jika ia sangka.
"Tyo, apa kurang jelas ayahmu memberi wejangan kepadamu untuk merawat kami?"
Ia gelagapan. Seumur umur baru sekarang ia berbicara dengan buah semangka.
"istri saya butuh makan, kasian dia. Lebih lebih ia perlu saya ajak sekali kali ke mall agar tidak di cemooh sama tetangga. Toko adalah ladang nafkah saya"
"huh, ternyata pandanganmu tentang esensi dan keluwesan hidup masih sama saja."
Semangka muntab dan menelan tyo tiba tiba. Tyo tak berdaya. Ia menyadari dirinya seakan masuk diserap kehampaan.seperti kacang yang di lempar ke jurang tanpa akhir. Sampai ia membuka matanya. Didapatinya ia di lahan semangka bapaknya.
Awalnya ia agak limbung karena merasa badannya tambah berat. Seperti berat badannya baru naik beberapa kwuintal hingga tak bisa digerakkan. Namun yang dilihatnya ini semakin membuatnya tak percaya. Lengannya hilang, begitu pula kakinya. Digantikan dengan kulit mulus semangka berwarna hijau tua. Badannya sempurna berubah bulat. Ia menjelma jadi semangka seukuran batok kepala anak anak.
"Duh Gusti, apalagi ini??" Gumamya, yang pasti bukan dengan mulut karena ia sudah tak memilikinya. Tyo mencoba bergerak namun tangkai yang menyatukan kepalanya dengan akar amat sukar dilepas meskipun telah berontak sekuat tenaga.Ia pasrah. Dan ingat ingat betul apa salahnya hingga bisa harus sebuntung ini nasibnya. Sekarang siapa yang akan menjaga Widya? Bisnisnya? Atau bahkan ladang bapaknya ?
Sampai pusing Tyo memikirkan itu hingga tak dihiraukannya air hujan yang menerpa tubuhnya. Atau tanah disekelilingnya yang juga ikut becek. Berminggu Minggu ia terjebak disana sebagai sebuah semangka.
Pasti warga di desa bingung mencarinya, karena beberapa kali mereka terlihat hilir mudik di dekat lahan itu. Sempat dilihatnya juga Widya, istrinya yang cantik itu amat cemas tatkala tak mendapati dirinya. Rasanya Tyo ingin berteriak kencang kencang bahwa ia selama ini ada di bawah sana namun sayang tak keluar sedikitpun suaranya.
Bulan silih berganti dan ia masih di kondisi dan posisi yang sama. Bergeming. Barangkali apesnya kali ini lantaran ia tak berkomitmen dengan wasiat yang ditinggal ayahnya hingga Raja semangka pun turut tangan mengutuk dirinya. Ia sadar ia begitu egois dan semaunya sendiri. Memang begitulah wataknya sejak dulu.
Suatu sore setelah hampir menyerah dengan semua ini, dilihatnya wajah indah istrinya yang sedang duduk di gubuk dekat tempatnya berada. Sedikit angin sejuk yang menyegarkan hatinya. Namun tunggu, disampingnya ternyata ada Jayadi juga. Mereka duduk berdua berhimpitan. Wajah mereka nampak sumringah memandang satu sama lain. Dan parahnya lagi Jayadi dengan lancang memegang tangan istrinya kemudian mengecupnya. Istrinya hanya tersipu dan pipinya merona.
Pemandangan ini sontak membuat Tyo murka. Ia dibakar cemburu hebat. Ia tak kuat melihat pengkhianat yang menjijikan ini. Kalau saja ia masih punya lengan sudah digoroknya leher Jayadi ditempat. Namun apa daya, ia hanya bisa berteriak dan menangis tanpa suara , tanpa ada yang mendengar. Hanya ada gagak yang memandanginya dari atas pohon. Sambil menertawakannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H