Lihat ke Halaman Asli

Putra Raja yang Menjadi Buruh

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Harun Ar Rasyid mempunyai seorang anak laki-laki yang berumur sekitar 16 tahun. Ia banyak duduk di majlis orang-orang zuhud dan wara’. Ia juga sering berziarah ke pemakaman. Ketika sampai di pemakaman, ia berkata, “Ada masanya kalian tinggal di dunia ini dan sebagai tuannya. Akan tetapi ternyata dunia tidak melindungi kalian sehingga kalian sampai ke dalam kubur. Seandainya aku mengetahui apa yang menimpa kalian sekarang ini, tentu aku ingin mengetahui apa yang kalian katakan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan kepada kalian. Kemudian ia membaca syair ini:

“Pemakaman menakutkanku setiap hari. Suara tangisan dan ratapan wanita yang berduka cita membuatku sedih.”

Pada suatu hari, ia datang ke istana ayahnya, Harun Ar Rasyid. Pada waktu itu, semua menteri dan para pejabat kerajaan beserta tamu-tamu terhormat lainnya sedang berkumpul bersama raja, sedangkan anak laki-laki tersebut hanya mengenakan kain yang sangat sederhana dengan surban di kepalanya. Ketika orang-orang istana melihat dirinya dalam keadaan seperti itu, mereka saling berkata, “Tingkah laku anak gila ini menghina Amirul Mukminin di hadapan para bangsawan. Jika Amirul Mukminin menasehati dan mengingatkannya, mungkin ia akan berhenti dari kebiasaan gilanya itu.”

Begitu mendengar perkataan mereka, Amirul Mukminin berkata kepada anak laki-lakinya, “Wahai anakku sayang, engkau telah mempermalukan diriku di hadapan para bangsawan.” Mendengar kata-kata itu, ia tidak menjawab sepatah katapun atas perkataan ayahnya, tetapi ia memanggil seekor burung yang bertengger di ruangan tersebut dan berkata, “Demi Dzat yang menciptakanmu, terbang dan hinggaplah di atas tanganku.” Burung itupun terbang dan hinggap di atas tangannya. Kemudian ia berkata, “Sekarang, kembalilah ke tempatmu.” Maka terbanglah burung itu lalu kembali ke tempatnya. Setelah itu ia berkata,

"Ayahku, sebenarnya kecintaanmu kepada dunia itulah yang telah menghinakan diriku. Sekarang aku telah bertekad untuk berpisah denganmu.”

Setelah berkata demikian, anak tersebut pergi meninggalkan istana. Ia pergi hanya membawa Al Quran. Ibunya memberinya sebuah cincin yang sangat mahal agar dapat digunakan pada saat memerlukan.

Ia berjalan dari istana hingga tiba di Bashrah. Ia mulai bekerja sebagai buruh. Tetapi dalam satu minggu, ia hanya bekerja selama satu hari, yakni pada hari sabtu. Hasil jerih payahnya selama sehari ia gunakan untuk keperluan hidupnya selama seminggu. Kemudian pada hari ke delapan, yakni pada hari sabtu, ia bekerja lagi. Ia hanya menerima upah sebesar satu dirham, dan untuk keperluan setiap harinya, ia menggunakannya sebesar satu danaq (seperenam dirham). Ia tidak mau mengambil lebih atau kurang dari upah tersebut.

Kisah selanjutnya diceritakan oleh Abu Amir Bashri rah a. Ia berkata, “Ketika sebelah rumahku roboh, aku memerlukan seorang tukang batu untuk memperbaiki rumahku. Ada seseorang yang memberitahu aku bahwa ada seorang anak laki-laki yang dapat memperbaiki rumah. Maka aku segera mencarinya. Di luar kota, aku melihat seorang anak muda tampan yang sedang duduk membaca Al Quran. Di sisinya terletak sebuah tas kecil. Aku bertanya kepadanya, ‘Wahai anakku, apakah engkau mau bekerja sebagai buruh?’ Ia menjawab,

‘Mengapa tidak, kita diciptakan memang untuk bekerja. Katakan kepadaku apa yang harus aku kerjakan?’ Aku berkata, ‘Memperbaiki bangunan.’ Ia berkata, ‘Aku bersedia asalkan aku mendapat upah satu dirham dan satu danaq sehari, dan pada waktu shalat aku tidak bekerja. Aku harus mengerjakan shalat.’

Aku menerima syaratnya. Kemudian aku membawanya ke rumah dan menyuruhnya bekerja. Ketika saat shalat Maghrib tiba, aku sangat terkejut, karena ternyata ia telah menyelesaikan pekerjaan dengan baik, pekerjaan yang dapat dilakukan oleh sepuluh orang. Aku memberinya upah dua dirham, akan tetapi ia tidak mau menerimanya, karena melebihi dari syarat yang telah ia ajukan. Ia hanya mau mengambil satu dirham dan satu danaq, lalu pergi.

Karena merasa penasaran, pada hari berikutnya aku keluar mencarinya, tetapi ia tidak kutemukan. Aku bertanya kepada orang-orang dengan menerangkan ciri-ciri anak muda tersebut, kalau-kalau ada yang mengetahuinya. Orang-orang memberitahuku bahwa anak tersebut hanya bekerja pada hari sabtu. Selain hari tersebut, tidak ada seorang pun yang dapat menemukannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline