Lihat ke Halaman Asli

Rudi Handoko

Saya seorang anggota masyarakat biasa di Borneo Barat

Arah Kebijakan (Politis) Berbahasa

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Alkisah, setelah kemerdekaan anak benua India, setelah konflik nan kronis, maka berpisahlah India dan Pakistan. Senasib dengan itu, dimulailah pemisahan "bahasa" yang sejatinya memiliki akar yang sama dan pengguna yang serupa yakni Bahasa Urdu. Di India salah satu bahasa nasionalnya ini dinamakan Bahasa Hindi, sedangkan di Pakistan tetap bernama Urdu. Semakin tahun, jurang pemisah semakin lebar mengikuti kebijakan negeri masing-masing. Di India, Hindi kembali menggali pada akar Sanskertanya, ditulis dalam aksara Devanagari dan massif mengikis pengaruh Arab-Persianya, demi menguatkan identitas nasional terutama Ke-Hinduannya. Di Pakistan, Bahasa Urdu justru sebaliknya, semakin kuat bertahan dengan pengaruh Arab-Persia dan gaya penulisan Nastaliqnya. Inipun demi identitas nasional dan ke-Islamannya. Akhirnya, semakin hari dua bahasa yang dahulunya satu dan semakna ini, semakin berjarak.

Alkisah di Kepulauan Melayu ini, tersebutlah satu bahasa yang dari jaman bahari telah menjadi bahasa tutur sapa penghubung antara puak yang berbeda, menjadi bahasa dagang dan bahasa popular, disebutlah ia Bahasa Melayu. Semenjak itu berpautlah dengan pengaruh India, China dan kemudian Arab serta Eropa. Semasa dipengaruhi Arab dan Islam, naik taraflah ia bukan lagi sekadar bahasa penghubung dan bahasa dagang, tapi menjadi bahasa ilmu, bahasa dakwah dan bahasa cendikia.
Sejak pra dan era kemerdekaan, kemudian berkembanglah bahasa ini menjadi bahasa nasional baik di Indonesia, Malaysia, Brunei dan Singapura
Seiring musim berganti, semakin senjang pula jarak bahasa yang dahulunya satu ini. Di Malaysia dan Brunei masih bernama ia bahasa Melayu, masih mengekalkan penulisan aksara Jawi seiring penulisan Rumi, sedangkan di Indonesia, punahlah aksara Jawi berganti Rumi.
Sama kisahnya seperti India, di Indonesia ini meski mayoritas adalah Muslim, demi identitas nasional dan "kenangan semangat kejayaan Hindu-Budhanya," semakin hari ke hari, semakin kuat kembali pengaruh Sanskerta dan perlahan pasti mengikis pengaruh Arab, Parsi dan Islamnya.
Mungkin yang namanya bahasa dalam satu sisi dapat dilihat bersifat netral dan bukan soalan agama, tapi mesti di-ingat perkembangan bahasa juga tak lepas dari suasana bathin, ideologi dan pengaruh agama yang melingkupi dan memberi warna dalam worldviewnya, serta tentu saja perkembangan bahasa terikut akan kebijakan (politis) berbahasa itu.
Kalau di India, mahfumlah kita jika kerna semangat Hindunya ingin menjayakan kembali pengaruh Sanskertanya. Namun di Indonesia ini, entah kerna apa lebih kuat semangat kembali ke Sanskerta dan mengikis pengaruh Islamnya...? Malah tak kalah radikalnya dengan India sana (andaikata boleh pakai aksara Pallawa, mungkin akan dipakai juga). Agaknya semangat menyemarakkan kembali pengaruh Sanskerta itu mungkin menyesuaikan dengan nama negerinya, yakni Indo-Nesia yang bermakna Kepulauan India alias Hindu.
Akhirnya, sampailah saya pada suatu natijah, bahwa "Kebijakan berbahasa itu mau tidak mau, diakui atau tidak, terikat dan sebati dengan Ideologi dan Agama yang diyakini." Jika ianya negeri (mayoritas) Islam, mestinya sedapat mungkin mempertahankan identitas termasuk bahasanya merujuk ke pengaruh Islam. Begitupun sebaliknya... Misal jika lebih dominan merujuk ke pengaruh Sanskerta, mungkin itu negeri Hindu!
[Tok Angah]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline