Lihat ke Halaman Asli

Rudi Handoko

Saya seorang anggota masyarakat biasa di Borneo Barat

Tertipu dalam Menilai

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah anda! Itu bunyi iklan suatu produk parfum. Bagi kebanyakan orang Indonesia, kesan pertama memang begitu penting artinya jika berkenalan orang baru. Bahkan kesan pertama itu akan membekas sebagai pengalaman yang utama. Nah, bagi orang yang ingin mendapatkan kesan nan baik, maka penampilan menjadi penting. Penampilan seperti apakah?

Saya dapat menyatakan bahwa sebagian besar masyarakat kita memang lebih mengutamakan penampilan fisik sebagai pertimbangan untuk menilai dan mengukur seseorang (terutama mengukur kapasitas dan ke-bonafid-an seseorang). Ibarat pernyataan resah orang-orang bijak, bahwa masyarakat kita ini memang merupakan masyarakat yang masih menilai dan mengukur seseorang bukan dari ‘kedirian’ seseorang sebagai manusia yang pantas di hargai dan dihormati, tapi menilai dan mengukur orang dari apa yang melekat, apa yang disandang dan apa yang dipakai, termasuklah di dalamnya, pakaian, gelar, harta benda dan jabatan.

Apakah salah? Tidak salah memang, tapi justru terkadang dalam beberapa kasus, hal ini selain cenderung diskriminatif, tapi juga dapat menipu. Seperti pelajaran yang pernah saya perolehi dari suatu mata kuliah yakni Perilaku Organisasi tentang Hallo Effect, bahwa apa yang melekat, yang disandang dan yang dipakai seseorang akan dapat menipu. Artinya penampilan fisik sebagai prasyarat utama orang untuk dinilai eksistensinya terkadang justru mengibuli orang yang menilai.
Tapi karena sudah kadung melekat di benak pikiran bahkan mungkin di alam bawah sadar manusia-manusia di negeri kita ini, tentang penilaian berdasarkan penampilan fisik itu, maka tetap sahaja hal itu menjadi kriteria utama, terutama dalam interaksi sosial dan hubungan antar personal.
Suatu saat anda akan menghadiri suatu perjamuan istimewa misalnya, jika anda kebetulan memakai pakaian yang ala kadarnya, maka alamat anda di bilang tak sopan dan tak tahu adat. Padahal mungkin pakaian itulah satu-satunya yang menurut anda paling bagus di antara pakaian yang anda miliki. Tapi jika anda memakai pakaian yang necis dan berkelas, mungkin perlakuannya akan beda, meskipun ternyata pakaian yang anda pakai itu boleh meminjam sahaja dari teman karib anda.
Pada acara siaran Shalat Idul Fitri beberapa tahun yang lalu, saya sempat melihat di TV Presenter Kondang Arie Untung mewawancarai beberapa jamaah yang akan melaksanakan Shalat Ied di Masjid Istiqlal, dari yang diwawancarai itu, ada dua remaja putri yang memakai pakaian begitu terang mencolok seperti hendak ke mall saja. Ada yang satu keluarga kompak memakai pakaian yang warnanya senada, katanya khusus dipesan buat berlebaran. Ada seorang jamaah yang mengaku Eksekutif Muda, dia memakai jas lengkap dengan dasi dan sebagainya, ketika ditanya apakah jika sudah berpakaian seperti itu tapi tak kebagian tempat di dalam Masjid yang sudah penuh, apa yang akan dilakukannya? maka Sang Eks-Mud bilang dia akan tetap berusaha mencari tempat strategis di dalam Masjid yang sesuai dengan posisinya sebagai Eks-Mud, dan tentunya sebagai orang yang berpakaian parlente dan berkelas. Mungkin dalam pikirannya…“masa’ dengan berpakaian begini harus sama dengan orang kebanyakan,” begitulah kitra-kira! Trus…Eng, ing, eng…datang lagi seorang jamaah lusuh yang hendak menuju Istiqlal, Arie segera mewawancarainya, karena pakaian jamaah satu ini mirip pakaian si Asrul dalam serial Para Pencari Tuhan (PPT). Ketika ditanya apakah si jamaah tidak punya pakaian yang lebih baik dan pantas untuk Shalat Ied? Si jamaah dengan sopan mengatakan, “memang mas setiap muslim punya keinginan, jika hari raya begini dapat memakai pakaian yang paling baik, tapi bagi saya hanya inilah pakaian terbaik yang saya miliki.” Tuuuh khan!
………………………….
Kembali lagi pada persoalan penampilan fisik ini, karena masyarakat kita yang latah dengan apa yang melekat, apa yang disandang dan apa yang dipakai, maka memang diskriminasi secara langsung maupun tak langsung kerap dilakukan kepada orang-orang yang kebetulan berpenampilan ala kadar, berpakaian sederhana, apalagi lusuh.
Di sisi lain, ternyata banyak juga korban yang bejatuhan karena ketipu sama Syndrome Hallo Effect ini. Banyak kasus penipuan, kasus penilepan dan sebagainya, yang ternyata dilakukan oleh orang-orang yang berpenampilan berkelas, parlente, pakai pantalon, berdasi dan seterusnya.
Artinya menilai orang secara fisik dan penampilan fisiknya memang bukanlah hal yang salah dan mungkin menjadi adab, apalagi dalam forum-forum formal. Tapi janganlah ini menjadi suatu absolutisme berfikir dalam menilai dan mengukur sesorang, apalagi untuk menilai dan mengukur kapasitas seseorang. Karena ternyata banyak orang cerdas, orang terkenal dan orang huebat yang tak mau terkungkung dengan penampilan fisik. Malah mereka berprinsip…inilah saya apa adanya! Bahwa dengan kesederhanaanya itu ada kepuasan bathin tersendiri bagi dirinya. Karena sebagai manusia seharusnya bukan bukan dinilai dari apa yang melekat, yang disandang dan dipakai, apalagi dari gelar dan status jabatan. Karena sesungguhnya itu semua malah merendahkan sebagai manusia. Karena selaku makhluk Tuhan yang paling mulia, manusia sudah sangat berharga meski tanpa embel-embel semua itu!
Ada contoh menarik yang pernah saya alami…di suatu bank terbesar di negeri ini, yang merupakan merger dari bank-bank yang hampir kolaps karena krisis tahun 1997-1998. Saat itu, saya harus menarik dana yang ditransfer teman saya untuk membayar honor (salary) mitra tim saya yang kebetulan bergerak untuk meng-upgrade popularitas seorang kandidat pada ajang Pemilihan Gubernur.
Seumur-umur, memang baru kali itu saya harus menarik uang dalam jumlah besar untuk ukuran anak petani seperti saya, yaah….sekitar 60-an juta rupiahlah. Setelah saya menuliskan segala sesuatunya dalam slip penarikan dari rekening saya, sayapun lantas menuju barisan antrian. Di bank tersebut barisan antrian memang dibagi dua bagian. Bagian pertama adalah untuk transaksi di bawah 20 juta rupiah, yang kedua adalah untuk transaksi di atas 20 juta rupiah.
Merasa jumlah transaksi saya yang lebih di atas 20 juta rupiah, maka saya lekas menuju barisan antrian di bagian kedua, yang kebetulan juga pada saat itu lagi sepi antriannya. Tapi siapa nyana,….tiba-tiba ada tangan yang menepuk pundak saya dan bilang “mas, mas…antri di sebelah mas!” tegas Satpam bank. “Waduh…kurang ajar nih Satpam!” gerutu saya dalam hati. Saya merasa tersinggung juga dikit, tapi yaa udah, daripada timbul kesalah-fahaman maka saya tunjukkan saja slip penarikan saya.
Setelah itu, dengan tersenyum mesem-mesem tak enak hati, Satpam bank tersebut kembali mempersilakan saya untuk langsung menuju teller. Olalala,...saya merasa kok diskriminatif gini ya,…sambil menahan tawa juga tentunya melihat Satpam yang salah tingkah dan segera menjauh ke depan pintu masuk.
Mau tahu…kenapa saya diminta antri di bagian antrian pertama? Yah…karena mungkin face saya tak meyakinkan sebagai nasabah yang akan bertransaksi dalam jumlah di atas 20 juta rupiah, boleh jadi! Mungkin juga karena memang pada saat itu saya dalam kondisi lusuh-lusuhnya, bercelana pendek, baju kaos oblong, rambut kriwil urakan, item…pake sandal lagi, dan dengan tas item yang ada boneka The Pooh kesayanganku! Hahahaha…!
Kalau ingat kejadian itu, saya kembali tersenyum dan berpikir…yaaahhh inilah saudara-saudaraku! Mau di apakan lagi…Twink!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline