Lihat ke Halaman Asli

Bertoleransi dalam Perbedaan

Diperbarui: 26 Januari 2024   19:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Didalam kitab "واألقارب األرحام مقاطعة عن النهي في التبيان واإلخوان " karya al-'Alim al-'Allamah Syekh Muhammad Hasyim al-Asy'ari, mengajarkan kepada kita semua, bagaimana menyikapi berbagai perbedaan yang ada. Dijelaskan oleh beliau bahwa telah terjadi perbedaan pendapat antara Imam Abu Hanifah (80 H-150 H) dan Imam Malik (93 H-177 H) pada masalah ibadah dan mu'amalat hingga mencapai 14.000 (empat belas ribu) masalah.

Demikian pula halnya antara Imam Ahmad bin Hanbal (164 H-241 H) (sang murid) dengan gurunya Imam Syafi'i terjadi perbedaan pendapat pada berbagai masalah. Kendati demikian tidak terjadi permusuhan diantara mereka, tidak ada caci maki diantara mereka, bahkan yang ada hanyalah kasih sayang dan saling mendo'akan dalam kebaikan diantara mereka.

Bagian dari rasa takzim (hormat) Imam Ahmad kepada sang guru Imam Syafi'i. Imam Ahmad selama 40 (empat puluh) tahun tidak pernah absen mendo'akan gurunya.  (للشافعي أدعو وانا سنة أربعين منذ)

Disebutkan Imam Syafi'i (150 H-204 H) ketika beliau berziarah ke kubur Imam Abu Hanifah selama 7 (tujuh) hari, setiap kali mengkhatamkan kitab suci al- Qur'an tidak lupa beliau menghadiahkan pahalanya kepada Imam Abu Hanifah. Selama berada di kubah kuburan Imam Abu Hanifah, Imam Syafi'i memimpin shalat fardhu shubuh, beliau tidak berqunut

Melihat hal demikian, salah seorang santrinya bertanya "Mengapa tuan guru tidak membaca qunut shalat shubuh di kubah Imam Abu Hanifah" dijawab Imam Syafi'i "Dikarenakan Imam Abu Hanifah berpendapat do'a qunut pada shalat shubuh tidak disunatkan, aku tidak berqunut pada waktu itu adalah karena menghormati pendapatnya

Dalam kontek Indonesia, kita mempunyai ulama yang alim dan moderat terhadap perbedaan yang ada. Misalnya Buya Hamka ketika memimpin shalat shubuh berjama'ah dalam perjalanan haji melalui kapal laut, beliau membaca qunut, karena menghargai makmumnya dari NU dan sebaliknya pula ketika giliran tokoh NU, KH Idham Chalid yang bertindak sebagai imam shubuh, sang tokoh pun tidak membaca qunut, karena menghargai makmumnya yang dari Muhammadiyah.

jadikan perbedaan sebagai warna dalam menyatukan persatuan tanpa perseteruan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline