Berbicara nilai-nilai spiritualitas Islam, biasanya pikiran kita akan diseret ke sebuah ruang tanpa meja dan kursi. Selain bentangan lantai, hal lain yang hadir di ruangan tersebut paling hanya hamparan karpet atau sajadah, dipermanis dengan rak berisi jajaran al-Qur’an di dalamnya. Ruang itu bergelar masjid. Atau, paling jauh, kembara pikir kita hanya akan sampai ke jajaran asrama—yang mungkin beberapa di antaranya terkesan kotor—di sebuah lokasi bernama pondok pesantren, atau sedikit melintas ke negeri Arab dengan jubelan jama’ah di hadapan Ka’bah, berpakaian jubah dan segala macam aksesoris pakaian yang kebanyakan kita menyifatinya dengan sebutan islami.
Di lokasi-lokasi seperti itulah kita—selalu—mengira bahwa ruahan nilai-nilai spiritual dapat ditangkap dan diejawantahkan kemudian. Maka, tak heran jika kemudian di tempat-tempat tersebut segala macam acara berlabel kajian, pengajian, majelis dzikir, atau nama berbau islami—setidaknya menurut pemahaman banyak orang—lainnya dihelat dengan biaya dan intensitas yang kadang tak terkirakan. Di luar tempat-tempat tersebut, kebanyakan kita sepakat bahwa atmosfer nilai-nilai spiritualitas sangatlah dangkal atau bahkan nihil. Namun, entahlah, bagi saya pribadi, kesepakatan jamak itu sedikit terasa hambar. Pasalnya, bagi saya pribadi,—tentu saja ini sangat subjektif—ruahan nilai-nilai spiritual itu lebih terasa kental saat jejak kaki ini memuncaki gegunung atau mata ini menerawang gulita gegua, serta selepas memeras hati dan pikiran ini di tengah bentangan alam yang dicipta-Nya.
Di puncak-puncak ketinggian permukaan bumi, selepas menerabas lebatnya belantara dan melintasi setapak jalan yang mengular di antara jejurang, kerap saya merasa bahwa diri ini nothing nian. Lenyap. Tak ada apa-apanya dibanding kuasa Tuhan semesta alam.
Memandang hamparan hutan atau curamnya jejurang dari puncak gunung, belum lagi jika berhadapan dengan kabut, badai, atau cucuk dingin yang menelusup hingga tulang, di sanalah saya merasa slogan laa haula wa laa quwwata illa billah itu jelma di dalam dada. Bukan hanya sekadar teori yang lancar mengalir bersama muncratan ludah dari mulut ini. Betapa tidak, di tengah kondisi tak menentu, dalam dekapan alam yang tak lagi bersahabat, hidup dan mati bisa dikatakan tak lagi berbatas. Tinggal apa maunya Dia, maka jadilah. Siapa pun tak sanggup menjadi penghalang. Alat dan teknologi apa pun tak ada yang dapat diandalkan. Ilmu apa pun tak ada yang sanggup menunjukkan jalan keluar. s
Di hutan lereng selatan Merapi, suatu malam, pernah saya sendirian berbivak di tengah guyuran hujan yang tak henti sejak senja menjelang. Tak ada baju cadangan. Tak ada bekal makanan. Tak ada penerangan. Usaha berkali-kali membuat api—untuk menghangatkan tubuh pada suhu yang sangat dingin—sesuai teori di dalam kelas tak membuahkan hasil. Kayu yang basah dan hujan menjadi hambatan utamadalam hal ini. Padahal, sudah seharian konsumsi tubuh atas makanan yang memadai terlewatkan. Hanya beberapa potong batang begonia sebagai pengganjal lapar yang saya temui di perjalanan.
Telentang setengah telanjang di bawah bivak berbahan reranting dan dedaunan, saya hanya bisa memasrahkan segalanya kepada Tuhan. Jika sudah saatnya tiba berpulang, maka ambillah. Sungguh saya pasrah. Usaha terakhir yang saya lakukan hanyalah melepas baju dan celana yang basah agar terhindar dari hypothermia, salah satu kondisi yang paling ditakuti para penggiat alam bebas.
Pun, di dalam gulita gua, saya dapat melihat lebih nyata akan makna ada dan ketiadaan; hidup dan mati; manusia dan penciptanya. Selepas menuruni tali di gua-gua vertikal, kerap yang menyambut di balik kegelapan bukanlah kilau stalactite atau stalagmite yang memantulkan sinar headlamp, melainkan pengapnya udara akibat tipisnya oksigen dan lorong sempit yang siap runtuh kapan saja. Dan, jika itu terjadi, tamatlah riwayat manusia bernama A. S. Sudjatna ini. Selesailah kisahnya, terkubur di dalam rongga perut bumi. Dalam kondisi itulah, betapa saya menyadari sungguh maut itu begitu dekat. Tak butuh waktu berjam-jam atau hari untuk melenyapkan seorang manusia. Hanya dalam kedipan mata, selesai sudah perjalanan manusia yang kerap pongah macam saya ini.
Oleh karenanya, di luar sana, saat kaki ini kembali jejak di rumah, hamburan syukur tak hanya berloncatan dari mulut, namun sepenuh jiwa-raga ini sujud atas segala karunia-Nya; pertolongan-Nya; kesempatan yang diberikan-Nya. Atas segalanya. Dan, ejawantah dari semua itu adalah usaha membengkel diri terus-menerus agar selaras dengan perintah-Nya. Sering tersendat, memang, namun acap kali kesadaran melecut niat agar terus melangkah dalam perbaikan.
Bagi saya, itu semua sudah sangat membantu mengingatkan muasal diri ini. Memaknai hidup ini. Walau tanpa jejalan teori dan penjelasan panjang lebar. Cukup melihat, merasakan, dan memerah pikir serta hati dalam upaya memulangkan kembali segala sesuatu kepada-Nya. Tentu saja, saya juga sangat menyadari bahwa semua itu akan semakin kuat dan lurus jika dibingkai dalam petunjuk-Nya; ayat-ayat-Nya yang tersurat, selepas menjajaki ayat-ayat-Nya yang tersirat.
Salam rimba!
A. S. Sudjatna
(KS. 298 Wv)
KAPALASASTRA, FIB, UGM
Cinta alam
Cinta kehidupan
Tanpa melupakan kebesaran Tuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H