Lihat ke Halaman Asli

Antara Banjir, Macet dan Reklamasi, Menunggu Keberanian Jokowi

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Dengan reklamasi Pantura, banjir dapat berkurang?"

Untuk mereka yang mengerti lingkungan, tentu saja jawabannya tidak. Berbagai kajian logis telah diutarakan, diungkap dalam berbagai kesempatan. Namun apa daya, mereka ini bukan pemegang kekuasaan.

Secara langsung, dampak reklamasi akan menyulitkan jalan air dari sungai menuju laut. Air banjir akan terperangkap di wilayah pantai utara Jakarta sekarang, sebab pulau-pulau reklamasi akan diurug lebih tinggi dari wilayah sekitar. Meski hal ini disolusikan dengan memompa air, namun sejauh mana itu dapat dipercaya dan diandalkan? Rumitnya birokrasi, sistem maupun mental manusia acap sering menghambat rencana penanganan. Lihatlah waduk Pluit, yang notabenenya sudah setahun ditangani, namun sampai sekarang masih saja terkendala teknis. Padahal Jakarta sudah ditangan ahlinya.

"Apabila solusi menangani banjir adalah pompa, maka ada yang salah dalam tata ruang."

Kita semua tahu, pertambahan jumlah penduduk Jakarta yang sedemikian pesat disebabkan oleh urbanisasi, bukan pertumbuhan penduduk secara alami. Ada yang datang mencari pekerjaan, ada pula yang datang menanam modal, membuka lapangan kerja. Namun demikian, apa yang menyebabkannya adalah kebijakan arah pembangunan Jakarta.

Ada hubungan antara banjir, macet, dan pengembangan infrastruktur. Bila Jakarta dibangun hanya untuk mereka, orang mujur (kaya) yang dapat membuka lapangan kerja, itu akan memicu kedatangan para pencari kerja. Prinsipnya, ada gula ada semut.

Namun apa lacur, dari dulu arah kebijakan pembangunan Jakarta memang seperti itu. Kepentingan segelintir pemilik modal selalu jadi prioritas diatas kepentingan umum. Hal ini ditambah pula dengan sentralisasi pembangunan. Padahal bila pemerataan pembangunan dilakukan, maka daerah resapan air Jakarta masih dapat dipertahankan.

Hasilnya? Bertambah padatlah Jakarta. Meski secara geografis punya keterbatasan daya tampung manusia, namun Jakarta tetap dibangun demikian. Perhatikan saja nama-nama wilayah di Jakarta. "Pulo", "Rawa", "Pantai", "Tanjung", "Teluk", "Kali", atau yang berawalan "Ci..". Itu semua identik dengan jalan air, sungai, maupun wilayah penampungan alaminya, punya daya batas lingkungan. Tidak boleh terlalu padat dibangun, bahkan ada yang tidak boleh dibangun.

Namun apabila pembangunan Jakarta hanya berorientasi pada kepentingan modal, bukan fasilitas hunian bagi para pekerja kota mayoritas, kelas menengah kebawah, maka tak ayal, ekologi Jakarta akan semakin hancur.

---

"Konsep Metropolitan dan Megapolitan Jabodetabek sebenarnya kegagalan dari penerapan UU tentang Komposisi Rumah."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline