“Jangan berubah…”, pintaku pada lelaki yang dengan lembut jemarinya mengusap dahiku dan mengelus rambutku. Rasanya terik matahari sore itu bukan bermakna aku harus segera pulang, tapi aku harus memaknai tiap detik yang ada. Aku harus memaknainya, memasukkan semua hal yang bisa aku ingat ke dalam otak ku, semuanya, sebisaku.
Untuk pertama dan terakhir kalinya aku bisa menikmati perjalanan bersama lelaki itu, lelaki yang masih duduk di sampingku dan jemarinya masih menari-nari di rambutku. Aku terlampau senang untuk berkata-kata. Aku terlalu takut menyesal untuk menyudahi semua ini.
“Berubah seperti apa?”, dia bertanya balik kepadaku. Aku takut salah menjawab pertanyaan itu. Sungguh, saat itu aku begitu nyaman bersama dengannya tapi aku tahu, ini semua tak sepenuhnya benar. Ada yang salah, aku bersama dengan lelaki yang tak bisa kumiliki. Aku bersama lelaki yang dengannya aku nyaman tapi tak bisa bersama untuk waktu yang lama.
“Tetaplah begini, seperti ini saja, kepadaku”
“Kalau aku tidak mau? Padahal aku ingin berubah. Esok hari, aku ingin berubah menjadi orang yang lebih merindumu. Esok ketika mentari kembali menyapa, aku ingin berubah menjadi orang yang lebih memperhatikanmu. Esok ketika kita pergi ke laut bersama, aku ingin berubah menjadi orang yang lebih bisa mengertimu. Aku masih tidak boleh berubah?”
Aku hanya bisa terdiam. Ku pejamkan mata. Sejenak kurasakan sinar matahari kala itu bisa menyentuh telapak tangan dan wajahku. Lenganku tak merasakan teriknya karena kemeja warna ungu yang kukenakan saat itu tak membiarkan terik matahari menyentuh kulit ku.
Dia memang sangat bisa membuatku tak bisa berkata-kata. Aku makin menyadari bahwa dia adalah lelaki yang dengannya aku ingin tinggal. Dia menyadarkanku bahwa setiap orang selalu tercipta berpasangan yang selalu bisa membuat hatinya tentram. Apakah dulu ibuku merasakan hal serupa kepada ayahku? Ataukah pikiranku yang terlalu jauh terhadap lelaki ini?
Dia masih saja membelai rambutku. Aku suka. Aku hanya terdiam menikmatinya. Aku ingin menggenggam tangannya. Ingin, tapi malu. Mau, tapi aku tak berani. Aku hanya menunggu dia memulainya terlebih dahulu.
Aku tak tau apa yang ia pikirkan saat ini. Ketika aku memandang wajahnya, ia terlihat membuang pandangannya jauh ke depan hingga aku tak bisa melihatnya. Sesekali ia menoleh ke arahku, tersenyum. Aku bisa apa? Hanya tersenyum malu dan sedikit menolehkan kepala yang bisa kulakukan. Saat ini aku benar-benar wanita biasa yang ketika dengan lelakinya, aku tak bisa berbuat apa-apa.
Kau tau? Aku sangat menyayanginya, sungguh. Aku sangat bersyukur pernah mengenalnya walaupun dengan keadaanku dan keadaannya yang seperti ini. Apa boleh buat, aku mengenalnya di saat yang tidak tepat. Aku merindunya di saat ada orang lain yang merindunya Aku mencintainya ketika aku tak bisa memilikinya dan pun sebaliknya. Sekejam itukah aturan dunia kepada ku dan dia? Setidak bisa mengerti itukah dunia pada perbedaan yang ada diantara kami? Bukankah orang bilang cinta bisa menyatukan dua insan dan hanya kematian yang bisa memisahkan? Namun mengapa aku tak bisa menyatu dengannya dan kalian menghalanginya? Tidakkah kalian memikirkan perasaanku sebagai wanita yang telah menemukan sosok lelakinya dan kalian menjauhkannya dariku?
Aku ingin menangis saat memandangnya sekaligus bertarung dengan pertanyaan yang bisa ku jawab sendiri dalam pikiranku. Aku terlampau menyayanginya. Aku hanya bisa memejamkan mata. Tanpa ku sadar tanganku meraih tangannya. Berharap genggaman tangan kami tidak telepas kecuali kematian yang melepaskan dengan perlahan. Aku memejamkan mata mencoba agar pikiranku dan hatiku berdamai dan menciptakan mimpi yang seindah ini. Aku bersama dengannya dalam waktu yang lama.