Ini sebenarnya adalah perjalanan tahun lalu yang belum sempat saya luapkan dalam baris tulisan sebagai kelak referensi ke depan untuk siapa saja yang bertanya atau bahkan ingin berkunjung ke sini. Tidak jauh-jauh petualangan bersama teman-teman kali ini masih main yang dekat-dekat saja, yaitu Bandung. Ah, cukuplah rasanya saya bersingkat kata saja untuk intro tentang Bandung. Intinya kota apik tetangganya Jakarta ini tidak pernah ada matinya untuk dikunjungi, didatangi ataupun ditandangi.
Kala itu Mei 2015, Tebing Keraton. Siapa sih yang tidak tahu ketika namanya disebut. Dia secepat kilat menjadi hits dikalangan pejalan kaki, boleh dibilang poto-poto yang bertebaran di dunia maya tentang Tebing Keraton adalah instagramable banget lah. Tidak salah lagi spot ini langsung naik daun dan wajib kunjung jika mengaku orang Jakarta atau yang berdomisili di Ibukota sekitar. 23 Mei 2015 datanglah ajakan Dinda untuk nge-Bandung.
Bersama Kak Ichi, Kak Eka, Bang Iwan dan satu orangnya lagi berangkatlah kami delapan orang anak manusia jam 20.00 menuju Bandung. Memang tidak langsung meluncur ke lokasi, tapi terlebih dahulu kami nongkrong cantik di Alun-Alun Bekasi sembari menjemput Kak Anie dan Kak Titin yang memang penghuni asli kota yang berjulukan Kota Patriot dan Kota Pejuang ini. Momen ini adalah kali pertama bagi saya merasakan malam minggu yang berbeda ditengah-tengah keramaian anak muda kota megapolitan Bekasi. Alun-alun kota yang dihiasi lampu-lampu dan berbagai jajanan kuliner memperancak malam ini di bawah sinar rembulan yang ikut menerangi. Masjid Agung Al-Barkah yang terletak persis di seberang jalan ikut menentramkan hati ditengah gemerlapnya nuansa sekitar. Senda gurau, silaturahmi dan teman-teman baru hiasan malamku dalam langkah kaki kali ini.
Setelah agak larut barulah laju roda empat dipacu kembali. Tentu berkendara ke Bandung baiknya memang menjelang dini hari, faktor utamanya adalah bebas macet dan jalanan cukup lancar. Spot pertama yang akan kami datangi adalah Bukit Moko. Melihat dan meresapi bintang-bintang, kerlap-kerlip malam hari kota Bandung.
Bukit Moko
Menuju puncak tertinggi di Bandung ini sangat membutuhkan perjuangan yang cukup berat dan kelihaian dalam menyetir. Tanjakan yang tiada berkesudahan dan kondisi jalanan rusak yang kurang mendukung membuat Bang Aldi sedikit kewalahan. Terkadang kami para penumpang disuruh turun terlebih dahulu karena tidak sanggup dibopong berbarengan oleh si hitam. Dengan ketinggian 1.500 mpdl lokasi yang terletak di desa Cimenyan ini sungguh menyambut kami dalam dinginnya di jam 3 pagi ini. Warung-warung dengan nuansa saung yang beroperasi 24 jam masih setia melayani para pengunjungnya yang ingin menghangatkan diri dengan secangkir kopi atau teh hangat dan tentunya dengan semangkok mie rebus yang mengepul-ngepul diantara telor ceplok yang terhidang ditengahnya. Keindahan sekitar cukup memanjakan mata, meski jacket harus dirapatkan karena suhunya yang bisa sampai 15 derajat celcius. Tidak banyak yang dapat kami lakukan di sini selain menikmati kota Bandung dari kejauhan yang diterangi lampu-lampu yang memberikan keindahan luar biasa.
Momen terbaik datanglah disaat senja ke Bukit Moko, selain masih bisa melihat pepohonan pinus yang menghiasi sekitar, matahari senja konon katanya tidak kalah menawan jika dinikmati dari puncak ini. Tentunya beranjak senja pemandangan nun jauh di sana juga akan menghiasi malam. Tapi tidak ada salahnya juga datang seperti kami di dini hari ini. Selain sepi pengunjung momen yang didapat juga berbeda dari pada pengunjung kebanyakan apalagi di malam minggu yang sudah dipadati muda-mudi mulai dari sore hari. So, segera masukkanlah Bukit Moko menjadi must visit ketika berencana liburan ke Bandung.
Tebing Keraton
Tujuan pagi ini adalah mengejar matahari terbit di kawasan Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda. Yaitu di atas sebuh tebing di Kampung Ciharegem Puncak, Desa Ciburial. Tersebutlah dia bernama Tebing Keraton, inilah dia primadona kami dalam trip kali ini. Sekitar empat puluh menit beranjak dari Moko kami sudah sampai di pintu masuk Tebing Keraton. Istirahat sejenak, sholat subuh dan barulah memulai jalan kaki menuju spot utamanya. Dari parkiran terakhir kendaraan ada dua alternatif yang ditawarkan kepada wisatawan ; berjalan kaki atau menggunakan jasa ojek untuk mengantarkan sampai gerbang pintu masuk. Karena masih pagi dan ingin lebih dekat menikmati udara segar Bandung dan menyapa penduduk sekitar tentulah jalan kaki adalah pilihan yang kami tempuh. Berpapasan dengan warga, memberikan senyum adalah semangat pagi yang ingin aku tebarkan. Sekitar lima belas menit ngos-ngosan sampailah di pintu masuk kawasan objek.
Tebing yang terletak persis di atas Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda ini sedang sangat-sangat dikagumi oleh para pencari keindahan. Pemandangan apik hamparan hijau hutan luas di bawah sana menjadikan Tebing Keraton tidak henti-hentinya berkibar di dunia per travelingan. Belum lagi kabut-kabut tebal yang bersembunyi diantara hijau-hijau pepohonan yang baru bangun dari tidurnya. Matahari pelan-pelan juga mencogokkan wajah jingganya dari balik bukit. Duhai Tuhan, inilah nikmat-Mu pagi ini yang aku rasakan. Tidak berlebihan memang, Tebing Keraton mempunyai daya tarik tersendiri dalam menjamu setiap mata yang mendatanginya. Berbondong-bondong manusia menghampirinya, baik itu menikmati keindahannya dan pastinya mengabadikan momen spectakuler dari ketinggian tebing batu yang terdapat di lokasi ini. Sampai saat ini pun Tebing Keraton masih tetap setia menjadi destinasi tujuan orang berlibur ke Bandung. Meski beberapa kali juga objek ini ditutup demi keberlangsungan ekosistem yang terdapat di dalamnya.
“Ya elah,udah ke mana-mana tapi ke Tangkuban Parahu aja elo belum, payah.”