[caption caption="Selamat pagi dari Pulau Lancang"][/caption]Pertama kali menginjakkan kaki di gugusan pulau yang masuk jajaran Kepulauan Seribu ini, ada nuansa tersendiri yang sangat berbeda dari kebanyakan pulau lainnya yang sudah pernah saya kunjungi. Aroma turisme ataupun wisatawan tidak tercium sedikit pun ketika kapal sudah merapat di Dermaga Barat Pulau Lancang. Desakan penumpang pun tidak semrawut seperti biasanya, hanya ada beberapa orang penduduk lokal yang menurunkan barang-barang bawaaan mereka dari tanah seberang.
Nama Pulau Lancang memang sangat asing bagi saya, bahkan ketika saya berujar kepada salah seorang teman ingin berkunjung ke pulau ini, dia malah balik tanya, “Di mana itu? Mau donk diajak.” Pun ketika bertanya kepada Mbah Google, apa sih istimewanya dari pulau yang satu ini? Lalu apa sih ikonnya yang menarik seperti kebanyakan pulau lainnya di jajaran Kepulauan Seribu? Apa dia memiliki Jembatan Cinta seperti Tidung? Atau memiliki pasir pantai seperti Perawan di Pari? Dan yang tidak kalah pentingnya, bagaimana dengan ekosistem underwater-nya? Menarikkah? Masih terjagakah?
Begitu banyak pertanyaan bercabang di otak ketika ajakan ke pulau ini datang. Namun, Mbah Google sekalipun tidak berhasil membuat pertanyaan saya terjawab. Hanya satu clue yang saya dapat, Jembatan Pelangi. Just it. Setelah pikir panjang dan makan rayuan para teman dan dengan berat langkah meninggalkan bangku kuliah, akhirnya saya memutuskan untuk ikut bertandang ke pulau yang masuk Kelurahan Pulau Pari ini bersama dua orang guru Biologi dari sekolah dan tiga orang teman lainnya. Tujuan utama tentunya lebih menelisik jauh tentang pulau ini dan menyapa ekosistem bawah lautnya serta melengkapi informasi yang belum memuaskan saya.
[caption caption="Jalanan Dermaga Barat Lancang Besar"]
[/caption]Ada satu hal lagi yang menjadi tanda tanya besar bagi saya pribadi, yaitu keberangkatan dari dermaga yang baru pertama kali saya dengar, Dermaga Rawa Saban. Dermaga Muara Angke, Muara Kamal adalah dua dermaga yang terbilang sudah sering hilir-mudik saya datangi. Menuju Pulau Pari, Pulau Tidung, Pramuka, Harapan, Panggang bergerak kapal dari sini sedangkan Pulau Onrust, Kelor, dan Cipir bertolak kapal dari Muara Kamal dan tidak ketinggalan Karangantu menjadi tempat merapatnya kapal ke Pulau Tunda yang terakhir saya kunjungi.
Namun, Rawa Saban adalah kali pertama bagi saya dan langsung memberikan citra yang jauh berbeda dari dermaga lainnya. Terletak di Cituis Tangerang tentulah menjadi akses terdekat dari keberangkatan saya dan tim yang berdomisili di BSD-Tangerang Selatan. Dermaga yang satu ini tergolong cukup rapi dan bersih meski tidak terlepas dari bau amis berbagai macam ikan yang tergeletak di sebelah kiri dermaga.
[caption caption="Dermaga Rawa Saban"]
[/caption]Pukul 10 pagi ini juga menjadi rutinitas rutin yang dilakoni oleh nelayan dan warga sekitar, transaksi jual-beli hasil laut. Ada satu hal yang sangat menarik dan menyita perhatian saya ketika sampai ke Tempat Pelelangan Ikan Cituis Kp. Cituis Desa Suryabahari Kec. Pakuhaji Kab. Tangerang ini, yaitu pelelangan ikan dengan teknik sorak suara dengan mikrofon menggunakan dendangan khas si tukang lelang. “Lima belas rebu, tujuh belas rebu, dua puluh satu rebu, dua puluh lima rebuuuuuuu….” begitu seterusnya dendangan si tukang lelang dengan cekatan memperhatikan gerak jari tangan para si pembeli. Unik memang, sistem jual-beli yang dilakoni di sini.
Namun, sedikit sesal yang saya rasa ketika salah seorang guru di hari kepulangan ingin ikut berpartisipasi, ditolak mentah-mentah pun ketika deal dengan nelayan sudah di depan mata, para pelaku tertentu lelangan ini tidak membiarkan "orang luar" ikut andil sekalipun bertransaksi secara langsung dengan nelayan yang baru akan menyenderkan hasil tangkapan mereka di tempat ini. Semua punya metode, semua punya aturan tersendiri, meski terkadang menyesakkan mereka kalangan bawah yang berusaha beradu nyawa di lautan lepas demi menutupi kebutuhan keluarga.
[caption caption="Hasil laut yang siap untuk dilelang"]
[/caption]Keberangkatan kapal ke Pulau Lancang baru akan berlayar di pukul 12 siang nanti. Sembari waktu yang ada selain dapat menyaksikan kesibukan datar di area dermaga, saya dan teman-teman mengisi perut terlebih dahulu di sebuah warteg dekat kapal bersandar. Kapal terakhir dari Pulau Lancang adalah pukul 10 pagi dan kapal ini akan kembali lagi pukul 12 siang ke Pulau Lancang.
Menyeberang dari Rawa Saban ke Pulau Lancang hanya membutuhkan waktu sekitar 30-45 menit saja. Di waktu jeda yang sedikit itulah dimanfaatkan oleh warga pulau untuk berbelanja terutama yang ikut penyeberangan di pagi hari. Mereka melengkapi kebutuhan sehari-hari di pasar Kp. Melayu, Pakuhaji, Mauk bahkan Cengkareng untuk berbelanja bahan pokok maupun sandang seperti pakaian.
Di bawah terik pukul 12 siang kami sudah berada di dalam kapal kecil yang penuh oleh dus-dus belanjaan warga, berbagai macam sayuran, sepeda motor di depan kemudi dan hanya hitungan jari penumpang. Lagi-lagi ini sangat membedakaan dari penyeberangan saya yang biasanya (padat penumpang) terutama wisatawan. Ini pun hari Sabtu, weekend, tapi tampaknya hanya kami si pendatang berlogo–wisatawan, dua orang koko cina dengan pancingannya dan selebihnya adalah warga setempat. Tepat pukul 12.15 kapal segera bergeser menuju lautan dan pukul 12.30 siap mengantar ke Pulau Lancang.
[caption caption="Sebagian besar muatan kapal diisi barang belanjaan warga"]
[/caption]