Siapa sih di era sekarang ini yang tidak mengenal Go-Jek? Berbagai kalangan terutama manusia-manusia sosialita kekinian dapat dipastikan setidaknya pernah mendengar kata Go-Jek. Apalagi, kaum hawa mandiri sana-sini pasti acap kali sudah duduk manis di belakang kemudi si abang (panggilan akrab pengemudi ojek kebanyakan) berjacket dan berhelm imut dengan warna green jreng yang menarik kagum mata memandang. Suka-duka pun pasti sudah banyak dilalui bersama dengannya. Main kucing-kucingan dengan ojek setempat, tebak-tebakan nama di depan banyak orang, telpon-telponan untuk memastikan janjian penjemputan atau bahkan curhat-curhatan sepanjang perjalanan. Itulah mungkin sekelumit kisah-kasih bersama si Abang Go-jek sepanjang sejarah Gojekers tertorehkan. Tentunya fenomena ini juga dialami oleh kaum pejantan pengguna setia Go-jek, namun dalam versi lain.
Karena rata-rata drivers Go-Jek yang sudah harau melintang saya tumpangi adalah kalangan bapak “kelas 3 ke atas”, jadilah percakapan yang sering terulang adalah berbagi kisah hidup sebelum dan sesudah bergabung dengan trasnportasi murah meriah, aman dan sejahtera ini. Tapi beda dengan sore hari ini.
“Mbak, jalan sedikit ya ke belakang, saya depan polsek. Ga enak di situ ada ojek.” Teriak si driver di ujung telpon sana, berusaha mengalahkan padatnya lalu-lintas disekitar.
“Lurus terus aja Pak, saya tunggu di bawah jembatan, jilbab ungu.”
“Maap ya bu, saya ga pake atribut (helm dan jacket identitas Go-Jek) karena sedang dicuci,” ucapnya sembari menyodorkan helm hijau.
Seharian ini aku sudah hitungan tiga kali menggunakan Go-Jek dan semua driver berkata demikian. Entahlah, apa karena takut di amuk si lawan makanya bersembunyi dibalik kedok atau memang mereka kompak menyuci semua atribut di saat weekend seperti ini. Tapi, tidak jarang memang, sang driver yang mengaku “lebih aman” berpenampilan seperti ini, meski diawal mereka terlebih dahulu selalu minta maaf. Bagiku, aku maklum. Toh demi keselamatan mereka juga, karena banyak di luar sana beberapa pangkalan yang masih tidak terima dengan kehadiran mereka. Atau terkadang, ada beberapa drivers yang pintar memadupadankannya, dengan melapisi jacket hijau khas itu dengan rompi hitam pada bagian luar.
Biasalahnya, di awal perjalanan bincang-bincang itu pun selalu menjadi andalan tanya-jawab penumpang-pengemudi. Tak terkecuali di siang terik ini, bahkan driver ini dengan logat jawa mendoknya akhirnya bercerita panjang lebar kepada saya. Mungkin saya adalah orang yang kesekian kalinya hari ini yang dia jadikan tempat curcol (curhat colongan). Saya sering menebak-nebak, apakah ini memang prosedur dari Management Go-jek sendiri untuk mengajak penumpang dapat berbaur dalam cerita, atau memang hanya keakraban yang dijalin oleh sang driver tertentu.
“Saya kalau ndak kejar setoran ndak bakalan gabung Gojek mbak,” Pak Priono memulai kisahnya.
“Jadi malam jaga, siang ngegojek?”
“Lho, kok mbak tahu?”