Lihat ke Halaman Asli

Cultural Lag

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi concern pada pendidikan, khususnya bidang sosiologi membuatku banyak belajar tentang berbagai macam hal yang berkaitan dengan masyarakat, sosial dan budaya. Tiga unsur tersebut yang paling menarik untukku adalah tentang budaya. Berbicara tentang budaya, pasti tidak akan ada habisnya. Budaya akan selalu berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan.

Berbicara soal budaya, tadi pagi saya berkumpul dengan kawan-kwan di tempat kerja dengan mengobrol berbagai hal termasuk budaya menjadi obrolan kami. Ya meskipun tidak terhindarkan ada saja obrolan yang sebenarnya kurang begitu berbobot. Tapi ada satu yang menarik yang harus saya tulis disini. Ada satu kawan bercerita tentang pengalaman pribadinya saat berada di pasar tradisional beberapa waktu lalu.

Cerita dimulai saat kawan saya berkeinginan untuk membeli tahu di pasar itu. Dan perlu diketahui di pasar ini memiliki ke-khasan tersendiri untuk menjual tahunya. Di pasar ini, terkenal tahu yang dijual dengan ukuran besar, tanpa dipotong kecil-kecil. Orang sekitar menyebutnya dengan sebutan tahu 'blabak' alias tahu papan karena memiliki ukuran yang tidak biasa. Kembali ke topik, kawan saya menanyakan kepada seorang penjual apakah ada tahu seperti itu di tempat si penjual itu. Kemudian penjual mengambilkan tahu yang ukuran biasa, kembali kawan saya bertanya "yang besar banget ndak ada bu?", kemudian si penjual menjwab tidak ada. Namun tiba-tiba ada sahutan dari penjual lain disebelah penjual tadi, "disini ada mbak yang besar dan mlenuk seperti njenengan" (kebetulan kawan saya memang berbadan besar seperti saya) kata si penjual lain itu. Kawan saya kaget dengan omongan si penjual sebelah tadi dan hanya terdiam dan menghampiri si penjual untuk memastikan apakah memang ada atau tidak tahu yang yang dimaksud. Dan saat kawan saya menghampiri si penjual, ternyata tahu yang dimaksud tidak ada dan hanya ada tahu isi yang digoreng seperti diwarung-warung lainnya.

Yang ingin saya uhkapkan kegalauan saya dalam hal ini adalah tentang goncangan budaya/cultural lag yang terjadi di dalam masyarakat sekarang ini. Dari pengalaman kawan saya itu, jelas bahwa pasar tradisional ini berada di desa, penjual pun berasal dari desa.  Sepemahaman saya, masyarakat desa terkenal dengan masyarakat yang ramah, dan mengharga orang lain. Namun dari pengalaman kawan saya ini terlihat bahwa semua itu sudah tergeser oleh hal lain yang bersifat negatif sebagai imbas dari cultural lag.

Ucapan 'disini ada mbak yang besar dan mlenuk seperti njenengan' itu sangat tidak mencerminkan masyarakat desa yang menghargai orang lain. Ada ketidaksiapan mental masyarakat akan adanya modernitas yang berdampak pada perilaku masyarakat yang sudah tidak menjunjung nilai-nilai kesopanan. ini lah yang terjadi pada masyarakat jaman sekarang.

Banyak orang beranggapan menjadi orang desa itu udik dan tidak gaul, dan dengan adanya modernitas mereka harus berperilaku yang tidak sesuai dengan apa yang sebenernya mereka. Itulah anggapan yang salah dan tanda ketidaksiapan masyarakat yang berkibat adanya cultural lag.

Sebagai masyarakat desa juga yang sudah melihat fakta secara langsung  bahwa peradaban perilaku masyarakat desa dulu dan sekarang memang sangat berbeda.

_salam multikultural_




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline