PENDAHULUAN
Indonesia memiliki budaya yang melimpah dan beraneka ragam di mana hal itu menjadi asset kekayaan budaya bangsa. Setiap kultur, etnis dan suku memiliki ekspresi pengungkapan budayanya masing-masing. Salah satu ekspresinya tercermin pada permainan tradisional yang hidup pada setiap daerah di Indonesia. Nurdiana Siregar (2018) menjelaskan bahwa permainan tradisional merupakan kegiatan hiburan yang menggunakan alat sederhana. Permainan tradisional itu sendiri memberikan manfaat yang baik bagi perkembangan fisik, emosional dan kognitif anak. Sebagai aset kekayaan budaya bangsa sudah semestinya permainan tradisional harus dijaga dan dilestarikan supaya tidak menghilangkan ciri khas bangsa Indonesia.
Arus globalisasi yang ada di dunia termasuk di Indonesia menyebabkan segala sesuatu yang bersifat tradisional cenderung ditinggalkan bahkan dilupakan masyarakat. Permainan olahraga tradisional seperti bentengan, lompat tali, gobak sodor, dan lain sebagainya kini semakin tersisihkan dengan adanya game modern seperti play station dan game online. Indonesia yang kaya akan budaya menyimpan cukup banyak permainan tradisional, misalnya gobak sodor, congklak, petak umpet, lompat tali, dakon, kotak pos, dan lain sebagainya dan setiap daerah memiliki permainan tradisionalnya sendiri-sendiri sesuai dengan kultur yang dimiliki. Namun, saat ini anak-anak dan generasi muda lebih banyak tertarik untuk bermain online games yang diakses melalui komputer atau smartphone yang dimiliki. Jika fenomena ini terus berlanjut, maka bisa jadi suatu saat permainan tradisional akan hilang sama sekali di Indonesia karena tidak ada yang melestarikan (Syamsurrijal, 2020).
Seiring berkembangnya teknologi, permainan tradisional sudah mulai terpinggirkan oleh permainan modern, seperti permainan video game, play station, game online berbagai permainan yang tersedia di komputer, handphone maupun laptop, dan permainan modern lainnya (Fauziah, 2015). Pola permainan anak mulai bergeser pada pola permainan di dalam rumah. Beberapa bentuk permainan yang banyak dilakukan adalah menonton tayangan televisi dan permainan lewat games station dan komputer. Permainan yang dilakukan di dalam rumah lebih bersifat individual. Permainan-permainan tersebut tidak mengembangkan keterampilan sosial anak. Anak bisa pandai dan cerdas namun secara sosial kurang terasah (Seriati dan Nur, 2012: 2). Perubahan minat dari permainan tradisional ke permainan modern dipengaruhi oleh aktivitas anak yang sejak dini telah bersentuhan dengan teknologi atau yang disebut sebagai anak digital natives. Anak-anak yang termasuk dalam generasi digital natives adalah orang yang lahir dari tahun 1990 dan terbiasa dengan dunia digital dalam interaksi kehidupannya (Prensky, 2001). Anak-anak digital natives menjadikan internet sebagai informasi pertama, sehingga menjadikan permainan tradisional yang merupakan budaya bangsa ditinggalkan oleh anak digital natives.
Jenis penelitian yang digunakan yaitu library research atau penelitian kepustakaan dikarenakan peneliti akan mengkaji hasil penelitian terdahulu. Penelitian kepustakaan adalah studi yang mempelajari berbagai buku referensi serta hasil penelitian sebelumnya yang sejenis yang berguna untuk mendapatkan landasan teori mengenai masalah yang akan diteliti (Sarwono, 2006). Literature yang digunakan dalam penelitian ini yaitu artikel maupun jurnal yang membahas tentang modifikasi permainan tradisional pada eksistensi permainan anak era generasi Z. Dikarenakan batasan masalah yang dikaji, literature yang diguanakan sangat terbatas. Teknik pengumpulan data menggunakan studi literatur yang merupakan cara menghimpun data atau sumber lain yang berhubungan dengan topik penulisam yang bisa didapat dari berbagai sumber berupa artikel, buku, jurnal dan pustaka lainnya.
Tujuan dari penulisan artikel ini sendiri yaitu (1) untuk mengetahui eksistensi permainan tradisional di era generasi Z dan (2) mengetahui eksistensi permainan tradisional di era modern. Di mana penulis melakukan pengumpulan data dengan mengumpulkan beberapa literatur berupa artikel. Berdasarkan kecukupan data yang diperoleh penulis metode yang digunakan adalah studi literatur. Penulis berfokus pada modifikasi permainan tradisional dengan menggali secara dalam dari kasus dengan mencari sumber literatur yang relevan, kemudian membandingkan dengan literatur lain, kemudian menarik kesimpulan atau pemahaman terkait topik yang ditulis. Hasil yang diharapkan dalam penulisan artikel ini adalah (1) modifikasi yang dirasa tepat untuk meningkatkan eksistensi permainan tradisional dan (2) perlunya meningkatkan eksistensi permainan tradisional di era generasi z.
PEMBAHASAN
Permainan tradisional merupakan salah satu aset budaya yang mempunyai ciri khas kebudayaan suatu bangsa (Suryawan, 2018). Di bagian pulau Jawa bagian Barat di Indonesia terdapat sebuah kumpulan etnik yang dinamakan suku sunda. Bahasa yang digunakan oleh suku ini adalah bahasa sunda. Kata sunda dapat mengandung berbagai arti yang secara umum berkaitan dengan etnis atau suku bangsa sunda dibagian barat nusantara. Dalam suku sunda tersebut terdapat berbagai jenis permainan yang sering digunakan atau dimainkan oleh para anak-anak pada zaman dulu sebagai suatu kegiatan yang dapat menciptakan suatu kesenangan juga ajang bersosialisasi bersama teman. Kebanyakan permainan ini dilakukan di tempat terbuka. "SAWEKA Dharma Sanghyang Siksakandang Karesian", salah satu bab dalam naskah kuno "Amanat Galunggung", yang diperkirakan dibuat abad ke-15 menyebutkan tentang hempul. Hempul inilah pemberi spirit bagi Muhammad Zaini Alif, yang tengah melakukan penelitian permainan dan mainan tradisional. Hempul adalah sebutan bagi orang yang mengetahui tentang cara membuat mainan, cara bermain, aturan memainkan, hingga nilai filosofi mainan atau permainan tradisional.
Perkembangan zaman yang diikuti dengan perkembangan teknologi perlahan-lahan menggeser keberadaan permainan tradisional. Jarang sekali kita melihat anak-anak jaman ekarang memainkan permainan tradisional seperti petak umpet, egrang, conglak, lompat tali, gatrik, engklek, pesawat-pesawatan, layang-layang dan kelereng. Permainan tradisional yang menjadi bahan dari penulisan ini yaitu congklak. Permainan tradisional congklak di Indonesia sendiri mempunyai banyak nama yang berbeda dari setiap daerah. Di beberapa tempat tetap menyebutnya dengan Congklak. Namun ada pula beberapa tempat yang menyebut dengan Congkak, seperti halnya di daerah Sumatera. Di daerah Jawa permainan tradisional congklak lebih dikenal dengan nama Dakon. Beberapa tempat menyebutnya dengan Dhakon, dan ada pula yang menyebut dengan istilah Dhakonan. Sedangkan istilah lain yang populer di kawasan Sulawesi adalah Maggaleceng. Ada pula yang menyebut dengan istilah Nogarata, atau Makaotan, dan ada pula yang mennyebut dengan Aggalacang.
Permainan ini di Malaysia juga dikenal dengan nama congkak, sedangkan dalam bahasa Inggris permainan ini disebut Mancala. Permainan congklak dilakukan oleh dua orang. Dalam permainan mereka menggunakan papan yang dinamakan papan congklak dan 98 (14 x 7) buah biji yang dinamakan biji congklak atau buah congklak. Umumnya papan congklak terbuat dari kayu dan plastik, sedangkan bijinya terbuat dari cangkang kerang, biji-bijian, batu-batuan, kelereng atau plastik. Pada papan congklak terdapat 16 buah lobang yang terdiri atas 14 lobang kecil yang saling berhadapan dan 2 lobang besar di kedua sisinya. Setiap 7 lobang kecil di sisi pemain dan lobang besar di sisi kananya dianggap sebagai milik sang pemain. Pada awal permainan setiap lobang kecil diisi dengan tujuh buah biji. Dua orang pemain yang berhadapan, salah seorang yang memulai dapat memilih lobang yang akan diambil dan meletakkan satu ke lobang di sebelah kanannya dan seterusnya.
Bagi masyarakat Betawi, permainan ini dikenal sebutan Congklak tetapi sesungguhnya ada sebutan lain (pada masa lalu) yaitu "Main Punggah". Tetapi yang paling lazim bagi para pendukungnya adalah kata Congklak. Disebut "Punggah" mungkin karena biji-bijian (buah) congklak tersebut, dibagi-bagi ke dalam tiap-tiap lubang yang dilewatinya. Dan biasanya biji-biji yang dijalankan tersebut akhirnya harus dimasukkan ke dalam "Gedongnya" (Rumahnya). Yaitu lubang induk yang terletak di kedua ujung dengan istilah disebut "Punggah". Meskipun sesungguhnya permainan ini mempunyai 2 sebutan nama, tetapi bagi masyarakat Betawi permainan ini lebih lazim disebut sebagai permainan Congklak. Apabila anak-anak Betawi ingin memainan Congklak secara spontanitas atau dadakan dan juga tidak memiliki media papan biasanya permainan congkak ini dilakukan di tanah. Ada sebuah filosofi sederhana namun sarat makna dari permainan congklak ini. Ada 7 lubang dan masing-masing berisi 7 biji. 7 adalah jumlah hari dalam satu minggu. Jumlah biji yang ada pada lubang kecilpun sama. Artinya, tiap orang mempunyai jatah waktu yang sama dalam seminggu, yaitu 7 hari.
Banyaknya daerah yang mengenal permainan tradisional congklak dipicu dengan adanya peran penting suatu budaya, adanya komunikasi antara satu dan yang lain menjadikan sebaran permainan tradisonal congklak ini semakin dikenal di berbagai daerah dengan cara dan namanya masing - masing. Dalam hal ini juga sangat berpengaruh terhadap tren game atau permainan di era generasi z ini. Seperti halnya kurangnya komunikasi antara individu satu dan individu lainnya sehingga lambat laun permainan tradisional semakin tidak terihat eksistensinya dikarenakan banyaknya game online yang lebih seru dan menantang. Untuk itu perlunya perubahan pada generasi muda untuk membenahi karakter, sosialisasi serta toleransi terhadap sekitarnya. Dengan membuat aplikasi game online yang menampilkan permainan -- permainan tradisional contohnya congklak dengan berbasis online. Sehingga masih bisa dilestarikan dan masih tetap diperlukan beberapa orang dalam bermain game congklak online ini sehingga anak muda generasi z tidak kehilangan komunikasi secara sosial dengan sesama. Oleh karena itu, pentingnya komunikasi dapat melestarikan budaya tradisional khususnya dalam permainan Congklak dan juga menjaga jiwa sosial bangsa.