Lihat ke Halaman Asli

Safwan Siap Bertarung dengan IAS dan SYL

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kota Makassar dirundung oleh angin tiket menuju perhelatan akbar di tahun 2013, agenda yang dilaksanakn lima tahun sekali ini menjadi ajang memperlihatkan diri bagi para kandidat yang akan bertarung di agenda tersebut.

Berbagai cara yang telah dilakukan oleh para kandidat untuk memproklamirkan dirinya, mulai dari mensosialisasikan diri di beberapa titik daerah, memajang baliho yang super raksasa serta pembentukan team sukses yang dinahkodai oleh para pelopor masyarakat, mahasiswa dan orang-orang yang brrpengaruh di daerah masing-masing bahkan yang tak ketinggalan adalah para ormas, okp serta lembaga kemasyarakatan yang juga tergiur akan janji2 para kandidat tersebut.

Mereka juga turut mensosialisasikan kandidat yang mereka dukung dengan berbagai macam cara salah satunya adalah membuat kegiatan akbar dan megah yang stakeholdernya dari kandidat tersebut. Dengan ini secara tidak langsung mereka turut andil dalam menyukseskan agenda akbar ini dan juga secara tidak langsung mereka membantu mengkampenyekan kandidat mereka di tengah khalayak umum dengan latar belakang sukarelawan, bermacam-macam aksi yang dilontarkan oleh kandidat tersebut dengan mengharap reaksi dari khayalak umum serentak khayalak itu bergemuruh seolah-olah mendukungnya “semoga saya menang dalam pertarungan ini” begitu pula dengan banyak media baik itu cetak maupun elektronik yang mempergunakan kesempatan ini untuk meraut keuntungan untuk menampilkan wajah-wajah kandidat beserta senyuman manis dan janji serta harapan yang membanggakan. Gambaran tentang ini bukan lagi hal yang asing di tengah masyarakat umum apalagi para elit politis. Sepertinya telah menjadi budaya kotor di tanah suci Indonesia.

Mengumandangkan diri sebagai kandidat yang telah ramai di kota Makassar dan beberap daerah di provinsi Sulawesi-selatan, terpajang di beberapa titik keramaian dengan kata-kata serta semboyang yang seolah menggait rakyat umum untuk dapat berpartisipasi dalam perhelatan akbar ini yakni Pemilihan Gubernur merupakan hal yang sangat lazim didapatkan di mana-mana, bukan saja di sul-sel bahkan di provinsi lain karena dengan ini public tahu bahwa si Anu turut dalam kandidat.

Akan tetap masyarakat umum sudah tak bodoh lagi, kebanyakan telah merasakan duduk di bangku sekolah bahkan kuliah sekalipun walaupun mereka tak kerja karena persaingan yang makin ketat apalagi maraknya arus Nepotisme yang mementingkan keturunan, kekeluargaan dll. Maka dengan ini masyarakat makin faham betul tentang apa itu kepemimpinan. Bahwasanya system pemimpinan belum belum betul menerapkan arus Demokrasi, ini bukan lagi orde lama, orde baru ataupun apa namanya akan tetapi ini adalah masa demokrasi akan tetapi demokrasi itu belum sepenuhnya dirasakan atau dinikmati oleh masyarakat banyak.

Dari masa ke masa mereka hanya pintar melambaikan tangan ditengah masyarakat banyak, hanya pintar berpidato di mimbar kampanye, hanya pintar memproduksi baliho yang besar dengan pesan janji manis serta harapan baik, sehingga tak ada tempat space iklan untuk bagi rakyat mengeluarkan aspirasinya untuk pemimpin karena masang iklan biayanya mahal dan hanya bisa disewa oleh pemimpin khususnya saat-saat kampanye. Mereka baru mendengarkan aspirasi rakyat dan menuruti maunya rakyat ketika saat-saat seperti ini, seperti perbaikan infrastruktur bangunan da infrastruktur sosial karena dibalik semua itu ada hal yang diinginkan. Apakah ini dikatakan sebagai pemimpin yang memperjuangkan rakyat? Kalau memang ini benar, maka sebaiknya kita menyatukan kekuatan untuk melakukan perhelatan Revolusi.

Pilkada pada dasarnya bukan mencari hal-hal yang baru seperti tagline yang bagus lagian masyarakat suda tidak bodoh lagi, tidak ada lagi intervensi seperti orde-orde yang telah lalu serta Partai Politik bukan hanya Golkar yang sifatnya Otoriter. Ini dewasa ini adalah masa Demokrasi yang lebih mementingkan aspirasi dari bawah. Lanjut dari pada itu, Pilkada pada dasranya mencari Regenerasi dan Regoverment yang lebih baik lagi untuk masyarakat dan memperjuangkan visi misi yang lebih baik.

Refleksi Tentang Ambisi

“semua ambisi bisa diterima, kecuali yang berjalan di atas penipuan dan penderitaan sesama” (J. Conrad)

Tak sengaja, sekitar jam 05;16 shubuh, tanggal 19-01-2012. Aku membuka buku yang super tebal, karya buah tangan Rahman Arge sehabis dari Warkop bersama teman-teman.

Buku itu berjudul “Permainan Kekuasaan” dan salah satu temanya adalah Ambisi. Menurut penulis kenamaan J. Conrad pernah menuliskan bahwa Ambisi “semua ambisi bisa diterima,” Tulisanya dengan kalimat jelas nan bagus, “kecuali ambisi yang masih berjalan di atas penderitaan atau di atas penipuan sesama manusia!”

Kata “ambisi”, menurut Gibert Braim, berasal dari kata “ambit”. Namun Braim tidak menyebutkan “Ambit” itu bersala dari bahasa mana, kecuali mengatakan bahwa itu mempunyai arti “Pergi Berkeliling”. Dalam bukunya yang berjudul Ambition, Gilbert Braim, menulis bahwa ambit itu dipergunakan untuk memberi gambaran para politisi Romawi yang pergi berkeliling untuk cepat mendapatkan suara dari pemilih.

Menjadi pertanyaan adalah, bagaimana ya, kalau kelak di indonesi sudah berlaku yang sedemikian rupa, semua aspek pemerintahan khususnya President, Gubernur, Walikota dan Bupati serta Wakil-wakilnya dipilih langung oleh rakyat? Mungkin mereka akan bergentayangan di pelosok-pelosok tanah air, desa dan kota (jika kita pinjam gaya para politisi Romawi itu) ber-Ambit ria di siang hari dan malam hari, mengetuk simpati para pemilih dengan berbagai cara, mulai dari Team sukses, simpatisan, lembaga-lembaga yang telah dikontrak oleh kandidat. Dengan kata lain, mereka menjual konsepnya, visi dan program sambil membanjiri telinga-telinga rakyat dengan kata-kata manis, dan mungkin bahkan orang yang alergi dengan politisi, akan menyebut mereka “mengemis dukungan”

Gambaran konsep diatas, bukanlah hal yang asing terdengar di telinga-telinga para pejabat, politisi, aktivis bahkan rakyat menengah ke bawah. Ini adalah sesuatu yang bukan lagi rahasia umum, karena hal tersebut sudah sangat transparansi di tengah umum, dan yang menjadi pertanyaan adalah apakah kita memperhatikan dan menganalisi fenomena tersebut untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam menjadi orang yang bijak dalam berpolitik.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline