Lihat ke Halaman Asli

Queenara

⊂⁠(⁠(⁠・⁠▽⁠・⁠)⁠)⁠⊃

Bisikan Dini Hari (2)

Diperbarui: 20 Desember 2023   22:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Horor. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Mystic Art Design

Aroma karbol dan obat bercampur dan menjadi suatu aroma khas. Perlahan aku membuka mataku dan aku mendapati diriku terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan banyak alat menempel di tubuhku. Di luar ruangan kulihat ada ayah dan ibuku, Bi Inah, Naya dan Raka. 

Yang pertama masuk ke dalam ruangan tempat aku dirawat adalah ayah dan ibuku. Aku tak begitu peduli dengan mereka setelah mengetahui kebenaran dari kasus kematian kakekku. Tubuhku masih mati rasa, aku tak bisa memberontak ketika tangan yang digunakan untuk menghabisi nyawa kakek membelai pelan kepalaku. Karena muak, aku menoleh ke luar dan melihat ekspresi khawatir dari Bi Inah, Naya dan Raka. Aku tak punya petunjuk sudah berapa lama aku berbaring di sini.

Selama di rumah sakit, yang bisa kulakukan hanyalah berbaring, duduk, makan, dan melamun. Aku masih belum bisa menerima fakta bahwa kedua orang tuaku telah membunuh kakek. Air mataku berlomba-lomba untuk turun dan membasahi pipi pucatku. 

Hingga aku memutuskan untuk nekat kabur dari rumah sakit saat orang tuaku izin pamit pergi ke kantin rumah sakit. Aku cukup beruntung, karena rumah sakit ini berada di samping perumahan milik kakek. Kakiku yang masih lemah terus kupaksa untuk melangkah. Sepanjang perjalanan, aku ditemani oleh cahaya sore dan angin yang menerpa lembut seluruh tubuhku. Tanpa sadar, aku sudah berdiri di kamar tempatku menginap. Aku tak menyangka akan bertemu Naya dan Raka yang duduk termenung di atas kasur.

"Ha ... lo?" Sudah kutebak bahwa suaraku akan serak dan terbata.

Naya dan Raka yang tersadar, segera memeluk tubuh ringkihku. Si kembar menangis dengan kencang sehingga Bi Inah datang untuk mengecek keadaan mereka.

"Astaga! Ajeng! Kamu kan masih sakit? Kenapa bisa di sini?" ucap Bi Inah penuh kekhawatiran.

Melihat ekspresi khawatirnya, hal itu mengingatkanku pada reaksinya saat melihat tubuh kakek bersimbah darah. Air matanya menunjukkan segala emosi yang tertanam pada tubuhnya. Aku segera melepaskan pelukan si kembar dan beralih memeluk Bi Inah dengan erat sambil menangis.

"Bi Inah, mengapa kamu menyembunyikan fakta tentang kematian kakek?" ucapku berbisik lirih. Dapat kurasakan tubuh Bi Inah menegang dan pelukannya mengerat. Jejak air mata terlihat jelas di pipinya.

"Mungkin ini saatnya kalian tahu..."

Kami berempat duduk melingkar di atas kasur dan mendengarkan cerita Bi Inah dengan seksama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline