Terpesona ketika melihat orang lain yang dengan lancarnya bisa berbicara bahasa Arab. Apalagi berparas tampan dan pintar. Selalu mendengarkan lantunan ayat suci Al-Qur'an ketika senggang dan selalu menjaga hafalannya.
Sebuah paket lengkap, Hanafi namanya. Kita mulai menjalin pertemanan karena bertemu di Masjid untuk belajar mengaji. Sebuah fakta yang mengejutkan adalah rumahnya berada persis di depan rumahku.
Kita bermain hampir setiap hari. Berangkat dan pulang mengaji bersama-sama. Kejahilan demi kejahilan pun kami lakukan bersama.
Hingga pada suatu waktu, aku terpaksa meninggalkan dirinya. Aku pindah ke luar kota bersama seluruh keluargaku. Perasaan sedih dan tak rela tentu menyerang hati kami berdua. Sepi rasanya kala aku berangkat mengaji di tempat baru tanpa kehadirannya.
Waktu demi waktu, hari demi hari, tersadar sudah sewindu waktu berlalu tanpa kehadirannya. Tekad yang kuat untuk menemui Hanafi kembali membuatku berani untuk pergi mengunjungi kota lama. Kota yang menyimpan sejuta kenangan masa mudaku.
Sampai di kota lama tempat kelahiranku, semuanya sudah berubah. Bahkan rumah Hanafi yang dulu kini sudah menjadi taman bunga untuk berwisata. Sudah tak ada kenangan di tempat ini dan aku memutuskan untuk pulang bersama rasa kecewaku.
"Nara?" panggilnya.
Satu suara itu, aku sangat yakin itu Hanafi. Kulihat kini dia memiliki postur tubuh yang tinggi dan tegap. Garis wajahnya tegas dan berwibawa. Tak kusangka, bocah kecil cengeng bisa menjadi seperti sekarang.
"Hanafi?" tanyaku, dan dia menganggukkan kepalanya.
Reflek hendak memeluknya, tetapi dengan segera dia melarangku.
"Tidak boleh bersentuhan," sanggahnya.