Lihat ke Halaman Asli

Niki Rina

Niki Rina

Titik Terang di Balik Kegelalapan

Diperbarui: 30 Maret 2022   17:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sebuah keluarga kecil yang sederhana, terdiri dari ayah, ibu, dan aku sebagai anak tunggal. Kami tinggal di tengah-tengah kota Bekasi. Kami bisa dibilang salah satu keluarga yang kurang mampu, karena sulitnya mencari sumber pendapatan. Ayahku, Satyo hanya bekerja sebagai penjual bakso keliling. Sedangkan ibuku, Lastri hanya sebagai ibu rumah tangga.

Kebutuhan semakin hari semakin meningkat, sedangkan pendapatan tidak ada peningkatan sedikit pun. Kebutuhan sekolahku pun semakin bertambah. Penderitaan keluarga kami tidak sampai di situ. Ternyata ibuku mengidap penyakit paru-paru basah, hal itu diketahui  setelah ibu diperiksakan ke rumah sakit. Sudah hampir dua minggu ibu mengeluh nyeri pada dada, napasnya sangat cepat, dan batuk. Namun, ibu selalu menolak untuk diperiksa ke rumah sakit, karena takut biayanya yang cukup mahal.

Setelah berusaha kami bujuk, ibu pun mau diperiksakan ke rumah sakit lantaran kondisinya semakin memburuk. Setelah selesai pemeriksaan, dokter menyampaikan hasil pemeriksaannya tersebut. Dokter menyampaikan bahwa ibu sudah cukup lama mengidap penyakit paru-paru basah. Kami sangat terkejut dan terpuruk mendengar kabar itu. Ibu hanya bisa menangis dan merasa sangat sedih.

Lalu, kami bergegas mengambil resep obat dari dokter dan langsung pulang ke rumah. Sesampainya di rumah kami berusaha menenangkan ibu dan memberi dukungan agar ibu tidak merasa sedih lagi. Namun, ibu hanya bisa menangis tersedu-sedu.


            "Sudahlah, Bu! Jangan menangis terus," ucap ayah menenangkan ibu.
     "Dengan kondisiku yang sekarang, Ibu hanya bisa menambah beban kehidupan untuk keluarga kita saja, Yah." Kata ibu sambil terus menangis.
              Aku hanya terdiam dan menangis. Matahari mulai terbenam dan malam pun tiba. Ayah duduk termenung di depan pintu rumah. Lalu, aku pun menyapanya.
             "Ayah sedang apa di sini? Kenapa Ayah tidak tidur kan besok Ayah berjualan bakso?" Ucapku.
              "Ayah sedang memikirkan bagaimana kondisi keuangan keluarga kita. Sedangkan, hasil dari berjualan bakso belum bisa sepenuhnya mencukupi kebutuhan. Bahkan kadang sangat sepi, ditambah lagi ibu yang sedang sakit Ayah binggung, Nak," curhat ayah sambil meneteskan air mata.
"Ayah tidak usah terlalu memikirkan itu semua, yang penting Ayah istirahat sekarang karena sudah malam!" Ajakku kepada ayah.
            "Ya sudahlah kalau begitu, mari kita istirahat." Ujar ayah.

Kami pun beristirahat. Keesokan harinya, aku bangun pagi-pagi untuk bergegas ke sekolah agar tidak terlambat. Aku berangkat dengan berjalan kaki, karena kami tidak memiliki      kendaraan roda dua. Sempat terlintas di benakku ingin mempunyai kendaraan roda dua seperti teman-teman di sekolahku, tetapi aku sadar bahwa keuangan keluargaku tidak memungkinkan untuk membelinya. Hari demi hari telah kami lalui, ayah membanting tulang agar dapat menghidupi keluarga kecilnya dan berusaha mencari uang untuk biaya pengobatan ibu.

Malam pun tiba dan terasa sangat dingin, hembusan angin terasa menusuk sampai ke tulang. Hujan turun sangat deras, tetapi ayahku belum pulang dari berjualan bakso. Aku sangat khawatir dan terus menunggunya hingga pulang.

Tak lama kemudian hujan pun reda, aku mendengar sayup-sayup langkah kaki terseret dari kejauhan. Aku segera bangun dan membukakan pintu.

"Ayah sudah pulang?" Tanyaku menyambutnya.

Aku dengan cepat mengambilkan handuk, lalu menyiapkan segelas kopi dan makanan untuk ayah dengan lauk yang sederhana.
            "Bagaimana jualan hari ini, Yah ?" Tanyaku pada ayah.
            "Alhamdullilah, hari ini lumayan banyak bakso yang terjual, Nak," jawab ayah.
            "Alhamdullilah ya, Yah." Kataku.

Aku menunggu ayah selesai makan, setelah selesai makan aku dan ayah bersiap-siap untuk istirahat. Ibu tidak menyambut ayah pulang, karena ibu sedang istirahat setelah minum obat.
Kulihat tubuh ayah nampak kurus dan letih. Ia tetap berjuang mencari rezeki, ayah membanting tulang dan sangat berusaha mencari biaya untuk menebus obat ibu yang hampir habis. Tak itu saja ayah juga harus membawa ibu hampir setiap satu bulan sekali untuk pemeriksaan ke rumah sakit dan menjalani kemoterapi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline