Lihat ke Halaman Asli

Posisi Presiden Sjafruddin Prawiranegara, Assaat, dan Jokowi

Diperbarui: 17 Juni 2015   20:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Perhelatan besar dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia telah digelar pada tanggal 20 Oktober 2014, yakni pelantikan Joko Widodo sebagai presiden pengganti Soesilo Bambang Yudhoyono. Sebelum meninggalkan istana, SBY telah meresmikan Museum Kepresidenan yang memajang enam patung presiden Republik Indonesia (Soekarno, Soeharto, B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan SBY sendiri). Terlepas dari motif sebenarnya yang mendorong SBY memesan enam patung itu, ternyata terdapat persoalan serius yang terlupakan, yakni tentang urutan presiden Republik Indonesia. Bambang Purwanto (2004), guru besar ilmu sejarah di Universitas Gadjah Mada, pernah mengatakan bahwa salah satu contoh klasik dari sebuah kesalahan yang terus dianggap sebagai kebenaran, baik oleh masyarakat umum atau sejarawan akademik, adalah sejarah Presiden Republik Indonesia. Presiden RI secara berurutan biasanya terdiri dari enam orang saja. Padahal terdapat dua nama yang belum tercantum, yaitu Sjafruddin Prawiranegara dan Assaat, yang dapat dikategorikan sebagai presiden dalam sejarah Republik Indonesia, jika sejarah dilihat sebagai sebuah proses.

Menurut sejarawan Asvi Warman Adam (2005) dan Mestika Zed (2012), peristiwa historis yang merupakan penggalan penting dari sejarah perjuangan rakyat Indonesia itu bermula ketika penjajah Belanda melakukan agresi militer kedua pada tanggal 19 Desember 1948 ke Yogyakarta. Tujuan utama serangan serentak Belanda itu untuk menyingkirkan RI dan pimpinan Soekarno-Hatta dari Indonesia. Target pertama adalah menduduki dan menangkap pemimpin RI. Menyikapi agresi itu, Kabinet Hatta mengadakan sidang darurat kabinet dan kemudian mengirimkan telegram kepada Sjafruddin Prawiranegara di Bukittinggi atas nama Soekarno-Hatta. Telegram itu berbunyi, “Kami, Presiden Republik Indonesia, memberitakan bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 djam 6 pagi Belanda telah mulai serangannja atas Ibu-Kota Jogjakarta. Djika dalam keadaan Pemerintah tidak dapat menjdalankan kewadjibannja lagi, kami menguasakan kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran RI, untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra.”

Telegram itu tidak sampai ke Bukit Tinggi. Tetapi pada saat bersamaan, Sjafruddin Prawiranegara telah berinisiatif yang sama, meskipun telegram tidak sampai ke tangannya. Dalam rapat di sebuah rumah dekat Ngarai Sianok, Bukittinggi, 19 Desember 1948, ia mengusulkan pembentukan suatu pemerintahan darurat (emergency goverment). Gubernur Sumatra, Mr. T. M. Hasan, menyetujui usul itu demi menyelamatkan Negara Republik Indonesia yang berada dalam bahaya agar tidak mengalami kekosongan pemerintahan yang menjadi syarat internasional untuk diakui sebagai negara. Dalam keadaan serba darurat dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain di hutan, PDRI mampu memainkan peran sentral, bukan saja sebagai faktor integratif dalam menyatukan pelbagai komponen kekuatan bangsa, melainkan juga memaksa Belanda untuk mengakui kedaulatan Indonesia. Pada saat Belanda mendapatkan tekanan internasional atas agresi yang dibuatnya, Belanda memaksa para pemimpin Indonesia yang ditawan di Bangka untuk mengajak perundingan Roem-Royen tanggal 7 Mei 1949. Akhirnya Sjafruddin Prawiranegara, selaku negarawan sejati, bersedia memaklumi perundingan itu demi persatuan bangsa dan rela mengembalikan pemerintahan kepada Soekarno pada tanggal 10 Juli 1949 di Yogyakarta. Meskipun istilah yang dipakai untuk menyebut jabatan Sjafruddin Prawiranegara adalah Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia, tetapi kedudukannya sama dengan Presiden.

Adapun kiprah Assaat dalam sejarah perjuangan Indonesia, menurut Bambang Purwanto Asvi Warman Adam (2005) tampak ketika perjanjian KMB (Konferensi Meja Bundar) antara Indonesia dan penjajah Belanda pada tanggal 27 Desember 1949 yang memutuskan bahwa Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS), yang terdiri dari 16 negara bagian dan Republik Indonesia merupakan salah satu di antaranya. Karena Soekarno dan Hatta telah ditetapkan sebagai Presiden dan Perdana Menteri RIS, berarti telah terjadi kekosongan pimpinan pada Republik Indonesia. Oleh sebab itu, Assaat menjabat sebagai Pemangku Sementara Jabatan Presiden Republik Indonesia. Peranan Assaat sangat penting. Kalau tidak ada RI saat itu berarti ada kekosongan dalam sejarah Indonesia, yakni bahwa RI pernah menghilang dan kemudian muncul lagi. Namun dengan mengakui keberadaan RI dalam RIS yang hanya beberapa bulan, maka sejarah RI sejak tahun 1945 hingga sekarang tidak pernah terputus. Sebelum RIS melebur menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 15 Agustus 1950, Assaat merupakan pemangku jabatan presiden sekitar sembilan bulan. Assaat pernah menandatangani Statuta pendirian Universitas Gadjah Mada Yogayakarta ketika memangku jabatan presiden RI. Menghilangkan Assaat dari realitas sejarah kepresidenan RI sama saja dengan tidak mengakui keberadaan UGM sebagai universitas negeri pertama yang didirikan oleh Republik Indonesia. Oleh karena itu, pengingkaran terhadap eksistensi Assaat sebagai Presiden RI memiliki konsekuensi historis maupun yuridis yang sangat besar.

Permasalahan penting terkait status kepresidenan Sjafruddin Prawiranegara dan Assaat inilah yang juga dikritisi oleh Jimly Asshiddiqie (2011). Menurut guru besar ilmu tata negara itu, jika kita hanya berbicara dalam konteks Republik Indonesia semata dan tidak memperhitungkan keberadaan Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai hasil kompromi dengan Kerajaan Belanda, maka catatan sejarah tentang Presiden Republik Indonesia harus dilengkapi dengan menambahkan nama Mr. Assaat sebagai Presiden ke-3 Republik Indonesia sesudah Soekarno dan Sjafruddin Prawiranegara. Namun, jikalau kita tetap mengakui adanya Republik Indonesia Serikat dan kita melihat Negara Indonesia sebagai wadah kesatuan kebangsaan dan kenegaraan dari Sabang sampai ke Merauke yang merdeka, berdaulat, dan diakui di dunia Internasional, maka jabatan Presiden Assaat ketika itu hanya dapat kita pandang sebagai jabatan kepala daerah atau kepala negara bagian. Istilah yang dipakai memang Presiden, tetapi pada hakikatnya jabatan Presiden RI sebagai negara bagian ketika itu adalah jabatan Gubernur. Hal ini berkebalikan dengan jabatan Ketua PDRI yang pada hakikatnya tidak lain adalah jabatan Presiden RI dalam keadaan darurat. Kita tidak perlu terpaku pada istilah formalnya, tetapi yang penting adalah hakikat dan substansinya. Apakah pengertian kita bahwa jabatan Ketua PDRI adalah Presiden dan jabatan Presiden RI sebagai negara bagian dalam RIS adalah Gubernur harus menyebabkan bertambah atau berkurangnya penghargaan kita kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara dan Mr. Assaat? Jawabannya tentu tidak. Kedua-duanya sama-sama berjasa besar bagi bangsa dan negara kita. Sjafruddin Prawiranegara adalah Ketua PDRI, dan Assaat adalah Presiden RI dalam RIS. Kita harus menempatkan keduanya dengan benar dalam sejarah, dan untuk itu kita pun harus memberikan penghargaan yang sebaik-baiknya kepada keduanya.

Peranan Sjafruddin Prawiranegara dengan PDRI hanya dikaji sekilas dalam Sejarah Nasional Indonesia (Jilid VI) yang diterbitkan pemerintahan Orde Baru. Sjafruddin Prawiranegara bahkan tidak disebut sebagai Presiden RI. Selanjutnya, penjelasan historis mengenai Sjafruddin Prawiranegara dan PDRI dibahas oleh Mestika Zed dalam Indonesia dalam Arus Sejarah, padaJilid VI. Namun anehnya, buku Indonesia dalam Arus Sejarah yang diterbitkan pada era pemerintahan reformasi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bersama PT Ichtiar Baru van Hoeve pada bulan Desember 2012 itu menyebutkan nama depan tokoh PDRI tersebut secara tidak sama, yaitu Sjarifuddin Prawiranegara (Jilid VI, hlm. 153 dan Jilid IX, hlm. 101) dan Sjafruddin Prawiranegara (Jilid VI, hlm. 167 dan Jilid VII, hlm. 138). Selain perbedaan penyebutan nama, buku IDAS (yang mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah sehingga dijadikan rujukan di sekolah-sekolah)juga tidak tegas menjelaskan status kepresidenan Sjafruddin Prawiranegara. Di sana (Jilid IX, hlm. 14) disebutkan bahwa kedudukan Sjafruddin Prawiranegara adalah sebagai Presiden/Ketua PDRI. Sebagai buku sejarah nasional mutakhir yang dipakai acuan seluruh bangsa Indonesia, hal semacam itu semestinya tidak terjadi.

Oleh sebab itu, signifikansi peranan Sjafruddin Prawiranegara dan Assaat demi kelangsungan Republik Indonesia yang berada dalam situasi genting seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam menentukan status kepresidenan mereka. Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa Presiden RI hingga sekarang terdiri dari sembilan orang Presiden, yaitu: (1) Soekarno, (2) Sjafruddin Prawiranegara, (3) Assaat, (4) Soeharto, (5) B.J. Habibie, (6) Abdurrahman Wahid, (7) Megawati Soekarnoputri, (8) Soesilo Bambang Yudhoyono, dan (9) Joko Widodo. Akhirnya, segenap rakyat Indonesia yang mempunyai kesadaran sejarah (dan tentunya Masyarakat Sejarawan Indonesia) hendaknya mengajukan rekomendasi kepada pemerintah agar memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada kedua tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia itu dan mengukuhkan mereka sejajar dengan para presiden RI yang telah dikenal masyarakat. Kita selalu diingatkan oleh Presiden Soekarno dengan slogan “Jasmerah”-nya, agar kita jangan sekali-kali melupakan sejarah. Bukankah tidak pernah ada kata terlambat dalam upaya pelurusan sejarah! Jika bangsa Indonesia dapat mengamandemen UUD 1945, mengapa kita tidak mau meluruskan pemahaman yang keliru mengenai urutan Presiden Republik Indonesia? Semoga Presiden Jokowi memahami persoalan historiografis ini dan segera menindaklanjutinya ...




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline