Lihat ke Halaman Asli

Pemikiran Para Sosiolog Klasik: Karl Marx dan Emile Durkheim

Diperbarui: 15 September 2022   08:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dalam mempelajari sosiologi kita akan mempelajari tiga pemikir utama yang menjadi dasar dari perkembangan ilmu sosiologi yakni Karl Marx, Emile Durkheim, dan Max Weber. Dimana dari ketiga pemikir utama tersebut memiliki masing-masing teori yang disebut dengan Grand Theory. Jadi tulisan ini akan membehas mengenai pemirikan para sosiolog klasik, yaitu Karl Marx, dan Emile Durkheim.

Pertama akan membahas mengenai Karl Marx. Dalam perjalanannya Karl Marx bertemu dengan Friedrich Engels, sehingga mereka menjadi sahabat dekat. Friedrich Engels merupakan seorang anak pengusaha tekstil. Bersama Marx, Engels disebut sebagai bapak pendiri komunisme. Engels juga membantu Marx untuk menyelesaikan beberapa karyanya, seperti: The Manifesto of The Communist Party (1948), dan Das Kapital (1867). Pembahasan selanjutnya adalah mengenai “Dialetika Marx”, dialetika Marx disebut dengan dialetika materi yaitu kenyataan berkembang melalui proses dialektika, dan dunia ide (kesadaran) merupakan perwujudan dari dunia realitas.

Pemikiran kedua Marx yang terkenal yakni mengenai Materialisme Marx. Di mana latar belakang dari Materialisme Marx itu berawal dari pemikiran dua tokoh yakni George Wilhelm Friedrich Hegel, dan Ludwig Andreas von Feuerbach. Lalu lahirlah pemikiran Marx yakni Materialisme Historis dan Dialektis. Materialisme historis merupakan intrepretasi mengenai kehidupan masyarakat berdasarkan landasan materi. Asumsi dasar dari materialisme historis yaitu antara lain, adalah cara orang memenuhi kebutuhan-kebutuhan. Sehingga kebutuhan manusia tersebut merupakan dasar motivasi serta dasar ekonomi. Maka kesadaran masyarakat tidak menentukan keadaan mereka, tetapi sebaliknya keadaan sosiallah yang menentukan kesadaran manusia. Selanjutnya materialisme dialektis merupakan interpretasi atas segala fenomena alam yang terjadi berdasarkan landasan materi.

Kemudian pemikiran Marx mengenai manusia yaitu manusia membuat sejarahnya sendiri. Marx juga membagi masyarakat menjadi dua yakni borjuis dan proletar. Perkembangan masyarakat menurut Marx itu dimulai dengan masyarakat komunis primitif, feodal, borjuis, lalu kapitalis, sosialis, dan yang terakhir adalah masyarakat komunis.  Di dalam masyarakat kapitalis terjadi keterasingan atau disebut juga alienasi, terjadi eksploitasi kepada kaum buruh sehingga menyebabkan mereka mengelami alienasi yaitu terasing dari dirinya sendiri, dari orang lain dan dari produknya. Dari peristiwa tersebut lahirlah sosialisme yaitu paham dimana hak milik dapat dikontrol secara bersama atau secara komunitas dan bukan oleh pribadi atau suatu kelompok saja. Sosialisme menjadi solusi atas konflik antara eksistensi dan esensi, antara objektifikasi dan penegasan diri, antara kebebasan & keterikatan, antara individu & spesies. Sosialisme bersifat Utopis atau mimpi atau sekadar teori tanpa tindakan. Sedangkan komunisme yang didengungkan oleh Marx adalah Sosialisme yang bertindak dan diwujudkan. Oleh karena itu setelah muncul Komunisme, yang dimana menurt Marx masyarakat komunis merupakan masyarakat yang ideal.

Tokoh sosiolog klasik selanjutnya yang akan dibahas adalah Emile Durkheim. Durkheim lahir pada tanggal 15 April 1858, karya-karya terkenalnya antara lain yaitu The Devision of Labour in Society (1893), The Rules of Sociology Method (1895), Suicide (1897), The Elementary Forms of Religious Life (1912). Pemikiran Durkheim yang akan dibahas pertama adalah mengenai fakta sosial, dari sudut pandang Durkheim, sosiologi sederhananya adalah ‘ilmu dari fakta sosial’. Masyarakat menurut Durkheim adalah sesuatu yang hidup, berpikir dan bertingkah laku sesuai dengan fakta-fakta sosial yang ada di luar individu. Ada empat pilar pendukung masyarakat yaitu sesuatu yang sakral dan propan, klasifikasi (contohnya: hukuman), ritus (contohnya: perayaan budaya), dan ikatan solidaritas.

Fakta sosial dapat dilihat dalam struktur sosial (social structure) dan institusi sosial (social institution). Fakta sosial bersifat eksternal, koersif, menyebar dan terpisah di luar individu. Jadi Fakta sosial adalah suatu kenyataan yang memiliki karakteristik khusus, yakni mengandung tata cara bertindak, berpikir dan merasakan yang terjadi di luar individu, yang ditanamkan dengan kekuatan koersif. Fakta sosial terbagi menjadi dua, yang pertama yakni fakta sosial material adalah sesuatu hal yang dapat disimak, ditangkap dan diobservasi, dan bagian dari dunia nyata (external world) yang mengatur individu, contohnya masyarakat. Dan yang kedua adalah Fakta sosial nonmaterial, merupakan sesuatu yang dianggap nyata (external) dan merupakan fenomena yang bersifat intersubyektif yang hanya dapat muncul dari dalam kesadaran manusia. Fakta sosial nonmaterial terdiri dari norma, dan nilai-nilai sosial.

Pemikiran kedua Durkheim yang ada dalam karyanya berjudul “The Division of Labor in Society” Durkheim menganalisis pengaruh/fungsi kompleksitas dan spesialisasi pembagian kerja dalam struktur sosial dan perubahan yang diakibatkannya dalam solidaritas sosial. Solidaritas sosial merupakan suatu keadaan relasi antara individu atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut lalu diperkuat oleh pengalaman emosional untuk memperkuat relasi sosial antar mereka. Lalu menurut Durkheim masyarakat itu berkembang dari masyarakat sederhana yang mengembangkan bentuk solidaritas sosial mekanik, sedangkan masyarakat modern mengembangkan bentuk solidaritas sosial organik. Perbedaan antara solidaritas mekanik dan solidaritas organik adalah solidaritas mekanik pembagian kerjanya rendah, kesadaran kolektif kuat, hukum represif dominan, individualisme rendah, relatif saling ketergantungan rendah, dan bersifat primitive/pedesaan. Sedangkan solidaritas organik pembagian kerja tinggi, kesadaran kolektif rendah, hukum restitutif dominan, individualisme tinggi, saling ketergantungan tinggi, dan bersifat industrial/perkotaan. Maka dari itu untuk menciptakan keteraturan sosial yang bersifat harmonis dan integratif dalam perkembangan pembagian kerja, diperlukan konsensus intelektual dan moral.

Pemikiran Durkheim selanjutnya adalah mengenai sucide atau bunuh diri, yang tertuang dalam bukunya yang berjudul “Suicide (1897)”. Kasus bunuh diri merupakan fakta sosial yang berkaitan dengan nilai, norma, aturan dan agama yang hidup di masyarakat. Bunuh diri terjadi karena dua hal yaitu renggangnya solidaritas sosial dan atau terlalu eratnya solidaritas sosial. Angka bunuh diri berbeda-beda menurut tingkat integrasi dan regulasi sosial. Orang yang bunuh diri merupakan fakta sosial atau cerminan masyarakat dan reaksi antara orang lain dari norma-norma atau nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Durkheim membagi bunuh diri menjadi 4 tipe, yaitu:

  • Bunuh diri egoistik : individu cenderung introvert/tertutup, individu jauh dari lingkungan sosialnya, lemahnya ikatan sosial dirinya dengan masyarakat, Individu tidak dapat memenuhi kebutuhan pribadinya, sehingga ia mengalami “depresi dan kekecewaan”. Contohnya: individu yang menutup dirinya dari lingkungan sosial, ia mulai kesepian lalu depresi, sehingga pada akhrinya ia bunuh diri.
  • Bunuh diri altruistik : individu terikat kuat dengan lingkungan sosialnya, Kepentingan kelompok/ masyarakat lebih tinggi dibanding kepentingan dirinya. Contohnya: tentara suatu negara ditangkap oleh negara musuh, si tentara tersebut memilih untuk bunuh diri daripada ia menjadi aib dan beban negaranya.
  • Bunuh diri anomik: Regulasi berupa cita-cita, tujuan hidup, nilai, norma yang melekat dalam diri individu rendah akibat perubahan sosial yang dialaminya. Contohnya: seorang pengusaha yang harus gulung tikar akibat pandemi yang melanda akhir-akhir ini, ia putus asa dan bimbang dan pada akhirnya ia memutuskan untuk bunuh diri.
  • Bunuh diri fatalistik: Regulasi berupa cita-cita, tujuan hidup, nilai, norma yang melekat dalam diri individu tinggi, karena tingginya regulasi, akibatnya individu mengalami “tekanan sosial” yang besar pula. Apabila individu tidak sanggup mewujudkan regulasi yang tinggi tersebut, akhirnya ia menyerah terhadap situasi yang ada. Contohnya: ada seorang artis terkenal yang depresi karena tekanan yang ia dapat dari para penggemarnya karena mereka berharap artis tersebut bisa menjadi sosok yang sempurna tanpa ada kekurangan, sehingga ketika artis tersebut membuat suatu kesalahan, ia depresi karena tidak bisa memenuhi harapan tersebut dan juga mendapatkan tekanan dari segala arah, lalu akhirnya ia mengakhiri hidupnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline