Lihat ke Halaman Asli

Elang Samudra

Mahasiswa

Pembangunan Politik Lokal melalui Revitalisasi Pasar Johar: Studi Kasus Kota Semarang

Diperbarui: 20 Desember 2024   13:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pasar Johar Semarang (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Revitalisasi pasar tradisional memiliki implikasi mendalam pada dinamika sosial, ekonomi, dan politik lokal. Pasar Johar, ikon perdagangan dan budaya Kota Semarang menjadi contoh transformasi yang menghubungkan revitalisasi ekonomi dengan pembangunan politik lokal. Dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, proyek ini tidak hanya menghidupkan kembali fungsi ekonomi pasar, tetapi juga menguatkan relasi antara pemerintah dan masyarakat. Esai ini akan membahas bagaimana revitalisasi Pasar Johar berkontribusi pada pembangunan politik lokal, dengan fokus pada proses tata kelola, partisipasi masyarakat, serta tantangan keberlanjutan proyek ini.

Pembangunan politik lokal menekankan tata kelola yang partisipatif, transparan, dan akuntabel. Huntington (1968) menegaskan bahwa pembangunan politik terjadi melalui modernisasi sistem yang responsif terhadap kebutuhan lokal. Dalam konteks ini, revitalisasi Pasar Johar mencerminkan bagaimana pembangunan ekonomi dapat menjadi medium transformasi politik. Teori tata kelola pemerintahan (governance) menjadi kerangka penting untuk memahami sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta dalam menciptakan hasil pembangunan yang inklusif.

Revitalisasi Pasar Johar berawal dari kebutuhan mendesak untuk memperbaiki fasilitas yang rusak akibat kebakaran tahun 2015. Proyek ini didorong oleh tujuan multifaset: merevitalisasi fungsi ekonomi, melestarikan identitas budaya, dan menciptakan ruang publik yang lebih inklusif. Dukungan dana dari APBN dan donor internasional menunjukkan pentingnya proyek ini bagi Kota Semarang.

Perjalanan revitalisasi tidak lepas dari tantangan, terutama pada tahap relokasi pedagang. Konflik antara pemerintah dan pedagang mengemuka akibat kurangnya komunikasi yang efektif serta ketidakpastian selama proses transisi. Meskipun demikian, pemerintah berhasil menyelesaikan proyek dengan memperhatikan aspek historis dan kebutuhan modern, termasuk peningkatan fasilitas, aksesibilitas, dan keberlanjutan lingkungan.

Pasca-revitalisasi, Pasar Johar kembali menjadi pusat aktivitas ekonomi lokal yang signifikan. Peningkatan fasilitas pasar, seperti lingkungan yang lebih bersih dan infrastruktur yang lebih modern, tidak hanya menarik pengunjung tetapi juga meningkatkan pendapatan pedagang kecil. Berdasarkan laporan Pemerintah Kota Semarang (2023), revitalisasi menghidupkan kembali 70% pedagang yang sempat kehilangan mata pencaharian.

Namun, revitalisasi juga membawa perubahan pada pola interaksi sosial. Modernisasi fasilitas menggeser interaksi tradisional antara pedagang dan konsumen, yang sebelumnya menjadi bagian dari identitas pasar. Meskipun demikian, desain arsitektur tradisional yang dipertahankan membantu menjaga nilai budaya Pasar Johar sebagai simbol Kota Semarang.

Revitalisasi Pasar Johar memunculkan dinamika baru dalam politik lokal, terutama melalui peningkatan partisipasi masyarakat. Forum konsultasi publik menjadi ruang interaksi antara warga dan pemerintah, memungkinkan warga untuk menyampaikan aspirasi terkait kebijakan revitalisasi. Proses ini menciptakan rasa kepemilikan kolektif terhadap hasil pembangunan.

Transparansi dalam pengelolaan anggaran revitalisasi juga menjadi faktor penting dalam memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Masyarakat yang terlibat secara langsung dalam proses perencanaan cenderung mendukung kebijakan lain yang dianggap mengakomodasi kepentingan mereka. Dengan demikian, revitalisasi Pasar Johar tidak hanya memperkuat hubungan sosial- ekonomi, tetapi juga menjadi katalisator dalam membangun demokrasi lokal yang lebih kuat.

Terlepas dari keberhasilan revitalisasi, proyek ini menghadapi sejumlah kritik. Relokasi pedagang selama konstruksi memicu ketidakpuasan, terutama terkait aksesibilitas dan stabilitas ekonomi mereka. Selain itu, biaya sewa tempat yang lebih tinggi pasca-revitalisasi menjadi beban baru bagi pedagang kecil, yang berpotensi mengurangi daya saing mereka.

Dari sisi politik, tantangan terbesar adalah mempertahankan keberlanjutan partisipasi masyarakat. Tidak semua segmen masyarakat mendapatkan akses yang setara untuk menyuarakan pendapat mereka. Pedagang kecil dan warga pinggiran seringkali merasa terpinggirkan dalam proses konsultasi publik. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk memastikan inklusivitas dalam pengambilan keputusan di masa depan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline