Lihat ke Halaman Asli

Rieke Titisan Srikandi?

Diperbarui: 24 Juni 2015   21:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tokoh Srikandi dalam dunia pewayangan adalah tokoh Kontroversial. Di satu sisi ia adalah putri raja yang sudahpasti diajari dan dididik tatakrama untuk menjadi wanita utama yang salah satu syaratnya adalah bersedia taat dan patuh kepada laki-laki yang menjadi suaminya. Namun disisi lain ada “ jiwa pemberontak” dalam diri Srikandi. Ia bukan saja belajar segala hal yang berbau “kewanitaan”, namun ia juga berani “melompat” mempelajari hal-hal yang berbau “kepriaan.”

Yang paling dramatis adalah keinginannya belajah memanah kepada Arjuna yang akhirnya menjadi suaminya. Kengototan Srikadi ini diapresiasi oleh para leluhur kita sehingga dalam kisah pewayangan ada tersempil sebuah kisah feminism yang berjudul “ Srikandi Meguru Manah.”

Supaya pembaca budiman memperoleh gambaran yang sedikit luas tentang Srikandi , saya akan mencuplik Wikipedia tentang kehidupan Srikandi versi wayang Jawa :

Srikandi dikisahkan lahir karena keinginan kedua orangtuanya, yaitu Prabu Drupada dan Dewi Gandawati, menginginkan kelahiran seorang anak dengan normal. Kedua kakaknya, Dewi Dropadi dan Drestadyumna, dilahirkan melalui puja semadi. Dropadi dilahirkan dari bara api pemujaan, sementara asap api itu menjelma menjadi Drestadyumna.

Dewi Srikandi sangat gemar dalam olah keprajuritan dan mahir dalam mempergunakan senjata panah. Kepandaiannya tersebut didapatnya ketika ia berguru pada Arjuna, yang kemudian menjadi suaminya. Dalam perkawinan tersebut ia tidak memperoleh seorang putera.

Dewi Srikandi menjadi suri tauladan prajurit wanita. Ia bertindak sebagai penanggung jawab keselamatan dan keamanan kesatrian Madukara dengan segala isinya. Dalam perang Bharatayuddha, Dewi Srikandi tampil sebagai senapati perang Pandawa menggantikan Resi Seta, kesatria Wirata yang telah gugur untuk menghadapi Bisma, senapati agung balatentara Korawa. Dengan panah Hrusangkali, Dewi Srikandi dapat menewaskan Bisma, sesuai kutukan Dewi Amba, puteri Prabu Darmahambara, raja negara Giyantipura, yang dendam kepada Bisma.

Dari kisah hidup Srikandi ini, saya ing memebuat beberapa catatan yang berkaitan dengan kesetaraan Jender :

Pertama, Leluhur kita (dalam hal ini Jawa, dan saya anggap Jawa cukup mewakili pandangan keseluruhan Indonesia) ternyata sangat menghargai kesetaraan jender. Srikandi yang wanita ternyata diijinkan untuk berlatih memanah dan olah senjata layaknya seorang pria.

Untuk anda ketahui wayang versi Jawa dengan wayang versi India (mahabharata) dalam kisah Srikandi ini cukup berbeda dalam mendeskripsikan jender Srikandi. Dalam wayang versi India Srikandi dikisahkan dilahirkan sebagai wanita namun diasuh seperti pria dan akhirnya kawin dengan wanita.Bahkan kadangkala ia dikesankan berjenis kelamin netral (waria).

Yang menarik para leluhur kita dengan sengaja “merevisi” cerita aslinya dan menyesuaikan dengan kultur dan pandangan local yang menghargai kesetaraan jender dengan menyebut bahwa Srikandi adalah murni perempuan. Meskipun ia adalah perempuan yang memiliki “ambisi” dan keterampilan yang sama dengan laki-laki.

Sampai disini kita bisa melihat betapa “majunya” budaya leluhur kita yang sudah sampai taraf menghargai kesetaraan jender.

Kedua, leluhur kita menerima kepemimpinan wanita sebagai sesuatu yang normal-normal saja.

Leluhur kita sudah sampai pada taraf menganggap kepemimpnan wanita adalah sebuah kenormalan bukan anomaly! Dalam fragment cerita Mahabharata versi Jawa dikisahkan Srikandi tampil sebagai senapati perang Pandawa menggantikan Resi Seta, kesatria Wirata yang telah gugur.

Bukankah ini luar biasa, seorang senapati (panglima) perang wanita dimedan perang sebesar dan sedahsyat bharatayudya ? Sebuah perang yang dianalogikan sebagai perang antara kebenaran melawan kedholiman ?

Ketiga, leluhur kita melakukan kritik budaya lewat lakon Srikandi Meguru Manah.

Lakon Srikandi meguru manah adalah lakon carangan. Yang dimaksud carangan itu hanya garis pokoknya saja yang bersumber pada perpustakaan wayang,kemudian dimodifikasi dan diberi tambahan atau bumbu-bumbu berupa carangan (carang dalam bahasa Jawa = dahan).

Ini berarti lelulur kita secara sengaja memodifikasi kisah hidup Srikandi untuk menebarkan faham kesetaraan jender. Lakon “ Srikandi Meguru Manah” ini adalah suara feminism ditangah cengkeraman kokoh maskulinisme feodal masa lalu.

Menyimak kisah hidup Srikandi di atas saya mencoba mengkomparasikannya dengan pencalonan Rieke Diah Pitaloka menjadi jabar 1.

Yang paling utama saya melihat kemiripan keduanya dalam hal “ambisi positif” untuk mendudukan wanita setara dengan pria. Ini adalah perjuangan menghapus bias jender. Seseorang bisa naik menjadi panglima (baca : pemimpin) bukan karena ia laki-laki atau perempuan, tetapi karena ia memiliki keterampilan (skill) yang mumpuni.

Saya pribadi melihat majunya Rieke menjadi jabar 1 bukan semata-mata karena ingin mengenggam kekuasaan belaka, namu dibalik itu ada misi yang lebih luas yang menjadi salah satu pilar demokrasi, yaitu kesamaan manusia di depan hukum!

Konstitusi Indonesia mengijinkan wanita dan pria untuk tampil menjadi pemimpin sepanjang rakyat menghendakinya. Itu artinya dalam kehidupan demokrasi, konstitusi harus ditempatkan sebagai rujukan tertinggi lebih dari hukum yang lain, termasuk hukum adat dan hukum agama!

Nah, menarik untuk ditunggu, mampukah Rieke Diah Pitaloka menjelma menjadi Srikandi yang mampu memenangi perang dengan mengalahkan Resi Bisma yang perkasa itu, setalah ia belajar memanah dari “Sang Arjuna Indonesia” – Jokowi ?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline