Lihat ke Halaman Asli

Tragedi Salihara

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Untuk kesekian ratus kalinya FPI membuat gebrakan yang “mencengangkan”. Organisasi massa yang sering bertindak layaknya “polisi agama” ini dengan “semena-mena” menghentikan diskusi yang sebenarnya bersifat ilmiah di Komunitas Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Jumat (4/5/2012) malam.

Tulisan ini saya buat karena tergelitik oleh tulisan mas Adi Supriadi yang berjudul “Soal Buku Irshad Manji, Perang Antara FPI Dengan JIL.”

Saya mencoba memahami nalar kaum militant itu dengan sebaik-baiknya. Tapi jujur saya tetap tidak bisa memahami sepenuhnya kegagapan logika yang mereka bangun.

Menurut hemat saya menghentikan sebuah kegiatan ilmiah sangat tidak bisa dibenarkan hanya karena alasan tidak setuju dengan ideology atau pandangan si pembicara. Lha, kalau logika seperti ini yang dibangun maka suatu saat nanti iklim akademis yang mempersilahkan dan meghalalkan perbedaan pendapat akan mati di Indonesia ini. Tentu kita yang masih “normal” tidak menghendaki hal ini terjadi.

Ada beberapa alasan mendasar yang membuat saya tidak setuju dengan tindakan yang terkesan main hakim sendiri itu.

Pertama. Menurut hemat saya, ide harus dibalas dengan ide bukan dengan otot. Tulisan arus dismabut dengan tuisan. Buku harus di compare dengan buku!

Logikanya sederhana saja : kalau tidak setuju dengan isi bukunya Irshad Manji, ya bikin buku tandingan untuk mencounter pendapatnya. Jangan main paksa membubarkan seminarnya.

Tindakan ini khan kekanak-kanakan. Ini khan seperti anak kecil yang kalah main kelreng la;u ngamuk membubarkan permaianan kelereng yang sedang dilakukan teman-temannya.

Kedua, tindakan semena-mena ini tentu mencederai alam demokrasi yang memberi ruang bagi kebebasan berpendapat.

Lha kalau semua pendapat yang berbeda dengan pendapat kita lalu kita berangus, maka kebebasan pendapat sebagaimana dijamin konstitusi kita akan runtuh.

Yang terjadi nanti adalah hegemoni mayoritas atas minoritas! Hukum rimba akan terjadi. Siapa yang kuat yang bisa memaksakan pendapatnya akan melindas habis yang lemah yang sedikit pendukungnya. Nah, kalau sudah begini maka pilar pluralitas yang merupakan salah satu sendi dari pancasila yang sangat kita cintai pasti akan roboh.

Ketiga, tindakan semena-mena itu sebenarnya mencederai kemanusiaan kita.

Sebagai manusia yang memiliki free will tentu kita bukan robot yang bisa disetir oleh siapapun, entah olah penguasa, maupun sebuah kelompok massa!

Sebagai manusia kita bebas untuk setuju atau tidak setuju dengan suatu pandangan tertentu. Tidak ada seorang pun yang boleh memaksa kita untuk mempercayai sesuatu! Wong Tuhan saja tidak pernah memaksa kita untuk percaya kepadaNya kok!

Ke empat, tindakan sewenang-wenang itu merusak kebersamaan sebagai suatu bangsa.

Kalau kita mengibaratkan Indonesia sebagai sebuah melting pot, tempat semua suku, agama, keyakinan, budaya dan etnis untuk tinggal bersama dalam harmoni yang indah, maka tindakan larang-melarang, cekal mencekal, tutup menutup jelas mencederai semua keindahan itu.

Kalau sikap seperti itu terus dibiarkan, maka Indonesia kita yang beragam, heterogen, plural, berwarna-warni suatu saat kelak akan menjadi sesuatu yang homogen, monoton, satu warna, buram dan membosankan sekali. Ini tentu tidak kita kehendaki bukan ?

Tulisan ini tidak punya tendensi apa-apa. Tulisan ini hanya merupakan ungkapan hati seorang anak bangsa yang gelisah dengan masa depan bangsanya. Adakah orang-orang yang “senada” dengan kegelisahan saya ? Ayo ungkapkan kegelisahan anda dengan santun dan nalar. Salam sejahtera untuk semuanya!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline