Siasat TNI untuk mengimbangi kekuatan pemerintahahan Jokowi dengan Memiliterismekan sipil
Penulis; Wahyu Bobi Handoko Lubis
Penikmat Masalah Sosial Budaya
Masih segar dalam ingatan saya sewaktu Kapolri Bhd mengeluarkan statement untuk memberantas preman, namun gagal kemudian yang terbaru Jenderal TNI Moeldoko untuk membuat 100 ribu orang kader bela negara namun masih Gonjang_ganjing. Alasannya untuk membumikan nasionalisme yang saat ini dirasa sudah jauh dari tatanan kehidupan berbangsa diharapkan dengan itu pula akan menghambat lajur terosisme yang melanda dunia. Kalau itu jadi acuannya untuk apa siswa disekolah mempelajari Kewarganegaran, Agama, Seni yang didalamnya terdapat kandungan nilai moral. lalu apa embrio yang diajukan oleh Institusi TNI untuk mempola bela negara dalam kurikulum nasional kita, dan sejauh mana dampak sosialnya bagi kemajuan berbangsa dan bernegara?. juga tidak jelas intinya hanya bersifat normatif semata. Bela Negara sama saja dengan wajib militer namun beda sebutannya saja maklum saja negeri ini paling suka dengan istilah.
Terlepas dari alasan apapun itu saya melihat ada dua hal yang menarik dari kedua Institusi tersebut yang pertama ‘’Istilah’’, Kedua titik tolak bagi kemajuan komunikasi masyarakat dalam menciptakan harmonisasi sosial. Penulis akan menguraikan satu persatu terlebih dahulu dalam pemakaian bahasa atau istilah; kita umumnya negara rumpun Melayu dalam menyampaikan maksud sering kali not direct into the point yang selaras dengan makna yang terkandung,juga negeri ini paling suka jadi kolektor bahasa. Contoh kecil saja kata ‘’Pegawey’’; Gawey berasal dari bahasa jawa yang mengandung arti; kerja, lantas dari situlah asal kata PNS (*pegawey negeri sipil) kalau dilihat dari fungsi makna Konotatif Ambigu (multi fungsi) bisa merujuk pada kesemua pekerja yang bekerja dimana saja termasuklah Pelacur, Buruh serabutan, Kuli panggul, Seniman,
Penulis termasuk dalam jajaran Pegawai (Pekerja), komponen bahasa pastilah berkembang atas kehendak dari masyarakat yang mendiami suatu wilayah namun harus pula diiringi dengan kondisi dilapangan. Kemudian yang kedua komunikasi_iklim sosial hadirnya pesan kehidupan dalam suatu percakapan antar individu disebabkan mereka ingin ‘’bertahan dan menjual diri’’. maksdunya ketika mereka kontak fisik salah satu kurang memahami tujuan dari aktifasi pesan dari yang lain itu sebabnya banyak kita lihat terjadinya konflik etnik, lebih lanjut saya menyampaikan bahwa sampai detik ini batasan etika itu tidak nampak. ***Bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H