Pernikahan anak di bawah usia yang layak masih menjadi masalah serius di Indonesia. Salah satu daerah yang berupaya mengatasi masalah ini adalah Desa Mlandi, yang terletak di Kecamatan Garung, Kabupaten Wonosobo. Perangkat Desa Mlandi memainkan peran penting dalam upaya pencegahan pernikahan anak di wilayah mereka. Dalam artikel ini, kita akan membahas peran Perangkat Desa Mlandi dalam pencegahan pernikahan anak, data statistik pernikahan anak di daerah tersebut, faktor-faktor yang mempengaruhi, serta upaya-upaya yang dilakukan oleh mereka.
Berdasarkan data Pencatatan Sipil Desa Mlandi menunjukkan bahwa jumlah pernikahan anak di Desa Mlandi mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2020, terdapat 57 pernikahan di Desa Mlandi, di mana 9 di antaranya melibatkan pasangan yang masih di bawah usia 19 tahun. Pada tahun 2021, turun menjadi 7 pasangan. Pada tahun 2022, angka pernikahan semakin menurun dengan 6 di antaranya masih melibatkan pasangan anak-anak. Faktor utama yang mempengaruhi terjadinya pernikahan anak di Desa Mlandi adalah pergaulan yang tidak sehat dan kurangnya pemahaman mengenai pentingnya menunda pernikahan hingga usia yang layak. Dua dari enam anak melakukan pernikahan dini akibat dari pergaulan bebas yang berujung pada kehamilan. Salah satunya F(16) yang terpaksa menikah karena telah hamil 2 bulan.
Sebagai Kabupaten yang meraih Predikat Kota Layak Anak tahun 2021, menjadi suatu urgensi ketika dihadapkan pada pernikahan anak yang mengancam masa depan mereka. Anak yang dalam rumusan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 seharusnya mampu mengembangkan dirinya untuk terus menempuh pendidikan terpaksa untuk berhenti. Tentunya hal tersebut memiliki dampak terhadap kemampuan mereka untuk membina rumah tangga. Kesiapan yang kurang berdampak besar pada keberlanjutan keduanya melalui dinamika bahtera rumah tangga.
Secara psikologis, anak yang menikah dibawah umur 20 tahun belum dapat dikatakan dewasa. Akibatnya, banyak kasus dari pernikahan anak ini merujuk pada kasus perceraian bahkan KDRT. Pernikahan anak juga miliki konsekuensi pada kemiskinan yang tinggi. Mereka cenderung kesulitan untuk dapat memperoleh pekerjaan dengan latar belakang pendidikan rendah, pengalaman kerja kurang, dan manajemen keputusan yang cenderung labil.
Wasilatun sebagai bidan di Puskesmas Desa Mlandi melihat bahwa pernikahan anak berdampak negatif terhadap kesehatan alat reproduksi anak. Anak usia kurang dari 20 tahun memiliki resiko dua sampai lima kali lebih tinggi pada kasus kematian maternal. Selain itu, anak juga berisiko mengalami kanker serviks melihat bahwa jaringan tisu yang belum matang.
"Pernikahan anak dapat mengancam nyawa pihak perempuan karena tubuh mereka belum siap baik secara hormonal maupun organ reporduksi bahkan beberapa kasus harus menjalani operasi sesar," ujarnya.
Faktor utama yang melandasi pernikahan dini di desa ini yaitu tradisi kuno yang melihat bahwa anak usia 'matang' menjadi stigma negatif ketika tidak segera dinikahkan. Hal ini menjadi dorongan moral terutama bagi warga desa yang masih menjunjung tinggi budaya nenek moyang secara utuh dalam kehidupan sehari-hari. Mereka menganggap budaya menikahkan anak ini sebagai suatu keharusan.
Pemerintah Desa Mlandi melihat kondisi pernikahan tersebut sebagai suatu urgensi yang harus diatasi karena secara hukum tindakan demikian melanggar Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang batas usia pria dan wanita untuk menikah yang dapat dilaksanakan setelah usia 19 tahun. Syoir sebagai perangkat Desa Mlandi menyatakan bahwa tradisi nikah muda sebagai suatu masalah kompleks tentang jaminan tumbuh kembang anak.
"Pernikahan anak ini harus turun karena anak berhak untuk mempersiapkan masa depannya lebih baik lagi" ujar Bapak tiga anak ini.
Perangkat Desa Mlandi melakukan berbagai upaya untuk mencegah pernikahan anak dan mengatasi faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya pernikahan anak. Berikut adalah beberapa upaya yang dilakukan oleh Perangkat Desa Mlandi: