Lihat ke Halaman Asli

Aymara Ramdani

Orang yang hanya tahu, bahwa orang hidup jangan mengingkari hati nurani

Lombok, Pulau Kayangan yang Kini Bergeliat Kembali

Diperbarui: 1 November 2018   13:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Piknik adalah fenomena yang tengah menjamur untuk bagi kalangan anak-anak muda kita. Piknik juga bisa saya artikan sebagai fenomena religius. Kenapa? Karena manusia modern atau sekarang ini, anak-anak millenials memasuki dunia teknologi yang sedemikian rupa. 

Dengan tingginya dunia teknologi sekarang ini, apakah anak-anak millenials ini menjauh dari alam, menjauh dari sejarah dan budaya? Melihat perkembangannya dari  anak-anak muda sekarang ini, yang sebelumnya menjauh dari alam, setelah melihat begitu banyaknya postingan tentang dunia "perpiknikan" di nusantara ini menciptakan peluang untuk kembali ke alam, kembali ke akar budaya kita yang memang luhur dan otomotais kembali ke Tuhan.

Bahwa piknik adalah melepas lelah dari rutinitas kita. Maka banyak sekali adagium yang kita kenal. "mainlah yang jauh, pikniklah yang banyak, keluarlah dari zona nyaman dengan traveling". Karena piknik akan mengenalkan kita kepada perseptif budaya yang kita kunjungi. 

Kita sangat beruntung memiliki akar budaya yang kuat, seakan peradaban kita ketika kita gali akan bermunculan peradaban peradaban zaman dahulu yang mengingatkan kita bahwa kita adalah negara yang bermartabat dengan bersinerginya antara budaya dan agama.

Masyarakat kita yang sudah berbudaya sejak zaman dahulu kala merupakan suatu kekayaan membangun sebuah sistem peradaban untuk membangun bangsa kita ke arah yang jauh lebih modern dengan tidak meninggalkan budaya kita sebagai sebuah pijakan dalam membuat suatu keputusan. 

Menurut Cak Nun, manusia modern mengatasi alam, menteknologikan alam menjadi kebudayaan-karena memang demikian salah satu ciri manusia modern yang berwatak dinamis; sementara manusia tradisi berwatak pasif dan konservatif karena berfilosofi melebur pada alam. 

Mana yang "benar" diantara keduanya? Jika kita lihat dari sisi spiritualitasnya, ini pandangan saya, bahwa dengan semua di teknologisasi, alam, budaya dan lain sebagainya itu akan terjebak pada kekeringan ruhani. Kenapa? Karena mereka-mereka itu hanya melihat dan belum masuk atau tidak bergelut  langsung dengan masyarakat-masyarakat tradisional.

Untuk itu, agar saya tidak merasa terjebak dalam kekeringan ruhani, saya berusaha untuk bergelut atau setidaknya mendatangi desa-desa tradisioana. Baduy aku kunjungi berkali-kali terutama jika musim durian. Dan terakhir Sade. Desa wisata di Lombok. Dan Lombok sekarang ini sedang bergeliat lagi setelah diguncang gempa Agustus 2018 kemaren.

dokpri

dokpri

Selain Desa wisata Sade aku coba explore Pantai Senggi, Pantai Kuta Mandalika dan satu pantai lagi yang aku lupa namanya serta tak ketinggalan icon kota Mataram, Islamic Center Mataram tak luput aku kunjungi. Wisata disana sudah terlihat menggeliat, terlihat sudah mulai sibuknya lalu lalang di Bandara LIA dan juga bule-bule berseliweran di jalan Raya sekitaran Mataram. 

dokpri

Aku menikmati senja di Pantai Senggigi. Masyarakat sekitar dan wisatawan baercampur menikmati suasana senja. Aku menyebutnya "Para pemburu senja" 'Mata dewa menuju peraduannya" meninggalkan sinar jingga kedunia. 

Sepasang kekasih terlihat berjanji dengan kemesraann yang begitu hangat sambil berucap, "kau adalah sinar jingga yang mampu membuat teduh hatiku" eaaaa. Aku segera bergerak untuk melanjutkan perjalanan. Tak lupa aku mampir ke toko-toko penjual acesories disekitar Senggigi, ikat kepala, tas kecil dan gelang masuk kekantongku kawan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline