Agama itu adalah mata air kebenaran. Oase di tengah padang pasir. Semua insan manusia di dunia ini akan selalu kembali kepada fitrahnya, bahwa nurani adalah kunci dari semua kehidupan ini. "Dengarlah suara bening dalam hatimu". "Biarlah nuranimu berbicara", demikian syair dari Bang Iwan Fals dalam salah satu buah karyanya.
Nurani tak pernah bisa kita ingkari, karena ia suci dan bersemayam selalu nilai-nilai kebaikan dan Cinta. Menurut Pak Haidar Bagir. "Agama yang sekarang muncul adalah aspek keras memberontak, melawan, dan membenci. "Lahirlah eksklusivisme antara kita dan kalian, saya dan kamu, beriman dan kafir. Inilah yang harus kita lawan. Kita bisa mengembalikan pandangan bahwa Islam itu cinta dan kasih sayang,"
Sejalan dengan pernyataan Pak Haidar tadi, ternyata ada sebuah buku yang menggelitik saya, dan ternyata buku tersebut sudah terbit pada Juli 2017. buku Islam itu Ramah bukan Marah, karya Irfan Amalee. Biar kukenalkan sedikit kawan tentang penulis ini, Irfan Amalee adalah pendiri PeaceGeneration. Di samping itu , penulis buku ini juga dikenal sebagai praktisi di bidang media kreatif dan penerbitan selama bertahun tahun, Irfan memiliki ketertarikan dalam mempromosikan perdamaian dan menjembatani perbedaan antar komunitas melalui penciptaan hubungan yang damai diantara generasi muda. itu sekilas tentang penulis buku ini.
Kembali ke judul tulisan saya, saya telat membaca buku bagus ini. Buku ini terbit dari Juli 2017 dan baru sekira akhir tahun 2017 saya menemukan buku ini dan baca sampai khatam. Bahasanya ringan, mengalir dan populer. Bahasannya pun mengedepankan nilai-nilai cinta sesuai dengan fitrah bahwa Islam itu cinta dan kasih sayang.
Dalam buku tersebut bahasannya yang menurut saya kontekstual dengan negara kita saat ini adalah bab Ummatan Wahidatan made in USA, hal 70.kita bisa berkaca atau bercermin dari bahasan tersebut. Bahwa 200 pembicara di konferensi ISNA (Islamic Society Of North America berbicara tentang bagaimana umat Islam bisa berkontribusi pada keadilan dan kemanusiaan. Tak ada lagi yang berbicara tentang masalah-masalah khilafiyah dan perbedaan kelompok.
Yang lebih menyentuh lagi adalah, ketika pengalaman penulis (Irfan Amalee) sedang berjalan dan mengelilingi pameran di acara tersebut. seorang anak muda yang mengenakan jubah dan berjanggut panjang menghampirinya. Dia mengenali penulis dengan pakaian yang dikenakannya yaitu batik. Dia begitu kagum dengan Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia. Ketika penulis menceritakan tentang keadaan Muslim di Indonesia yang mulai terkotak-kotak, raut mukanya terlihat sedih sambil berkata, "Brader, itulah setan yang masuk ke hati manusia, setan senang kita terpecah belah."
Kelompok yang keras-keras itu baru belajar sampai bab Ghodob (marah) sudah berhenti.
Merasa Islam itu ghodob. Marah terus kemana-mana, padahal setelah itu ada bab Sabar, Tawadhu, dll-Gus-Mus
Memang negara kita adalah sebagai negara Islam terbesar di dunia, namun melihat kondisi sekarang ini yang mulai ramai isu sara digunakan dalam mencapai keinginannya. Saya begitu khawatir, dan teringat kepada sabda nabi "Bahwa pada suatu masa nanti umat islam akan banyak jumlahnya, tapi hanya bagaikan buih lautan yang hilang di terpa angin". Kita tak dapat menyangkal Islam diidentikkan dengan kebodohan, kekumuhan, kekerasan-bahkan dianggap sebagai penyebar teror. Bahwa semua itu jauh dari citra Islam yang rahmatan lil alamiin. Kita ingin Islam membawa perubahan peradaban yang pernah di lakukan oleh Nabi Saw dan para sahabatnya yang mempu mempengaruhi peradaban dunia. Dan, di tangan Wali Songo dan para ulama penerusnya Islam tertancap kukuh di Bumi Nusantara ini.
Ada lagi bahasan tentang filosofi Kabayan (hal 144). Kita kenal bahwa sosok Kabayan adalah sosok yang lugu, bodoh dan pemalas. Padahal di balik sikapnya yang lugu itu, sebetulnya leluhur Urang Sunda menciptakan sosok Kabayan untuk menggambarkan filosofi dan world view orang Sunda yang sangat spiritual. contohnya adalah Menangis Saat Gembira, Tertawa di Kala Duka, cerita populer dari legenda si Kabayan adalah ketika berjalan di tanjakan dan turunan.
Saat Kabayan menaiki jalan menanjak, dia tertawa senang, sebaliknya, ketika menuruni pudunan alias turunan, dia malah menangis. Melihat sikap yang aneh itu, teman seperjalannya bertanya keheranan. Kabayan menjawab bahwa ketika berada di tanjakan dia tertawa karena dia yakin setelah tanjakan pasti ada turunan, karena itu ia bahagia memikirkannya. Dan ketika berada di turunan, dia sedih karena turunan itu akan segera berlalu dan tanjakan akan di hadapi. sikap ini menunjukkan bahwa kita hidup tidak terpaku pada sesuatu yang kita alami sekarang, tetapi melihat jauh ke depan.