Moh. Roem S.H. (1908 - 1983), penulis artikel ini, adalah seorang politikus Indonesia, tokoh Masjumi yang aktif dalam perundingan Linggajati, Roem-Roijen, Renville, Konferensi Meja Bundar dan sebagainya.
Empat kali ia menjadi menteri antara 1946 - 1953 dan bahkan pernah menjadi wakil perdana menteri (1956 -1957).
Setelah satu setengah bulan ditahan di Jakarta, pada Maret 1962 kami berenam dimasukkan ke penjara Madiun oleh Presiden Soekarno.
Enam orang itu adalah Sutan Sjahrir, Prawoto, Sultan Hamid, Subadio, Anak Agung Gde Agung, dan saya.
Alasannya karena menurut "logika revolusi" harus ditarik garis tegas antara kawan dan lawan. Sangat sederhana berpikir menurut logika revolusi!
Empat tahun lebih kami hidup dalam tahanan. Pada awal tahun kedua, jumlah kami bertambah dengan Yunan Nasution, Mochtar Lubis, J.H. Princen, Isa Ansjari, E.Z. Muttaqien, dan Muchtar Ghazali.
Dari enam orang pertama yang dikumpulkan dalam satu blok, saat itu hanya Subadio yang masih bujangan.
Saya perhatikan ia yang paling lambat tidur. Tadinya, saya kira ini kebiasaannya sebagai bujangan.
Namun, setelah kami bertambah akrab, Subadio bercerita bahwa ia dipesan oleh ibunya agar jangan tidur sebelum pukul 24.00.
Andaikata ia tertidur, setelah pukul 24.00 ia bangun sebentar dan pergi ke halaman di luar kamar tidur untuk memohon kepada Tuhan agar dosa Soekarno dimaafkan.
Subadio menceritakannya sambil lalu saja, tetapi saya mengingatnya dan sering merenungkannya. Saya tidak pernah berkomentar karena merasa tidak pantas.