Lihat ke Halaman Asli

Arbi Sabi Syah

Jurnalis Komparatif.id

Pelipur Lara

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

130112637854783354

Setiap orang butuh ketenangan dalam mengarungi hidup dan kehidupan.

Karena ia adalah kunci dari semua kesuksesan.

----

[caption id="attachment_98312" align="aligncenter" width="300" caption="Ilustrasi/lenteraqalbuku.blogspot"][/caption]

Aku pusing!

Pusing rasanya memikirkan hutang yang kumiliki!

Aku mau muntah!

Muntah memikirkan hal-hal yang harus kulakukan untuk membayar hutang-hutangku.

Aku muak!

Muak dengan semua kesalahan-kesalahan bodoh yang selama ini kulakukan.

Aku….aku marah….

Tapi. Kepada siapa aku harus marah?

Jika pun aku harus menyesal sekarang, untuk apa?!?

Bukankah itu kulakukan sendiri!??

----

Pffhhhh…….

Memang, rokok selalu terasa nikmat bila kita sedang dalam kesulitan. Apalagi bila dihisap dalam-dalam, lalu dihembuskan perlahan. Nikmatnya akan terasa beda. Duhhh..!!

Rokok is the champion for me. Absolutely..!! Unbelievable deh..!?! Benar-benar juara sejati. Juara penghibur hati yang sedang dilabeli rasa penuh lara. Membawa semua kesusahan ke atas langit, bersama dengan kepulan asap-asapnya. Aku pun seakan ada di atas awan. Melayang-layang dalam satu keinginan; melenyapkan semua masalah yang ada.

Sebenarnya, aku ingin katakana bahwa rokok telah menemaniku sejak lama. Rokok adalah teman setiaku. Bahkan, sejak aku masih berumur lima belas tahun. Kacau, kan?!?

Rokok selalu ada di dalam tasku. Berdua dengan korek api, mereka pergi kemanapun aku pergi. Pagi. Siang. Malam. Tidak pernah mengenal waktu.

Rokok setia mendampingiku. Baik dalam senang maupun susah. Baik dalam suka maupun dalam nestapa. Tidak pernah meninggalkanku, tidak dalam satu detik pun.

Rokok mendengar semua ucapanku. Mendengar semua ucapan orang-orang yang bicara denganku. Mendengar semua suara yang ada di sekitarku.

Rokok melihat semua tindakanku. Melihat semua tindakan yang dilakukan orang lain denganku. Melihat semua tindakan orang-orang yang ada di sekitarku.

Rokok tidak pernah mengeluh. Tidak pernah juga berkata tidak. Selalu bersedia. Bersedia dibakar dan mati untukku. Kapan pun dan dimana pun juga.

Aku cinta rokok. Cinta setengah mati. Bukan! Cinta sampai aku mati.

----

“Sayang, kamu, kok, ngerokoknya nggak berhenti-berhenti, sih?”

“Kenapa? Kamu keberatan?”

Nggak juga. Tapi akhir-akhir ini kamu ngeroknya kayak kereta api.”

“Memangnya salah?”

Nggak. Kamu lagi ada pikiran?”

“Apa hubungannya?”

“Biasanya kamu nggak ngerokok sebanyak itu, kecuali kalau lagi ada pikiran.”

Sok tahu! Tapi seratus buat kamu!

“Nggak. Cuma lagi capek aja!”

Bokis banget sih, perempuan!

“Makanya, jangan terlalu capek, dong!”

“Gimana caranya?”

“Senang-senang kek, liburan, kek!”

Hmmm….How about shopping? Nggak mungkin, ya!

“Ya, kita lihat nanti aja, deh!”

“Asal jangan ke tempat pabrik rokok, ya!”

Basi, deh lu! Apa salahnya, sih, ngerokok? Kalau memang nggak suka, ya jangan ngerokok dan jangan dekat-dekat orang yang ngerokok! Siapa suruh kawin dengan perokok? Dari dulu juga gua ngerokok!

Kenapa? Takut gua mati! Kalau mau mati sih, mati aja. Nggak ngerokok juga orang bisa mati.

Takut gua kena kanker? Iya?! Suruh aja metro mini betulin knalpotnya dulu. Asap rokok nggak ada apa-apanya dibanding asap metro mini. Justru itu lebih berbahaya.

Suka heran, deh! Nggak bisa lihat orang senang!

“Nggak! Mau dugem aja!”

“Eh, boleh juga , tuh! Udah lama kita nggak dugem bareng!”

Eehhh, kalau dugem aja! Dasar anak gaul!

-----

Aku dan Bayu sangat suka dugem. Pertemuan, masa pacaran dan honey moon-ku dengan Bayu dihabiskan di dunia malam yang gemerlap. Dunia yang penuh keramaian, hingar bingar dan gelak tawa. Dansa-dansi dan alkohol tentu saja tak terlupakan. Semua itu adalah bumbu penyedap dunia malam. Tanpa mereka,dugem bukanlah dugem.

Dunia seperti itu bukan hal yang asing bagi kami berdua. Sejak SMA, kami berdua sudah sering pergi ke tempat-tempat seperti itu. Sebagai sarana bergaul dan mencari kesenangan.

Alkohol pun bukan hal yang baru bagi kami. Kami bukan pemabuk, tapi kami pecinta minuman keras. Rasanya enak, dan bisa membuat kami benar-benar rileks. Apalagi pada saat kami menghabiskan musim dingin di luar negeri. Alkohol seperti penyelamat yang bisa menghangatkan jiwa dan raga kami.

Bahkan ketika aku kuliah dulu, hari-hari menjelang ujian adalah hari-hari alkohol. Alkohol membuatku tenang menghadapi semua soal-soal ujian. Semua soal seperti mudah dan bisa kukerjakan dengan sangat santai. Tidak ada pengaruhnya terhadap nilai-nilai yang kudapat. Semuanya baik-baik saja. Pernah aku sekali mencoba untuk tidak minum alkohol menjelang ujian. Yang ada, nilaiku malah jadi hancur berantakan.

Entah kenapa, begitu selesai honey moon, selesai pula masa-masa pergi dugem dan juga minum minuman beralkohol. Padahal, aku sering membayangkan nikmatnya bercinta sehabis menegak tiga atau empat gelas minuman itu.

Mungkin kami berdua sudah bosan. Atau mungkin juga karena kami sudah merasa terlalu tua. Yang paling mungkin, kami berdua tidak ada waktu. Rumah kami yang jauh dari pusat kota, membuat kami malas untuk pergi ke mana-mana di malam hari.

----

Begitu masuk ke pintu gerbang Hard Rock Cafe, salah satu tempat nongkrong favorit kami dulu, aku sudah merasakan keceriaan yang tiada tara. Musik yang terdengar sayup-sayup, sudah bisa membuat badanku bergoyang. Harum dan bau tequila pun sudah ada di ujung lidah. Hmmm…asyiknya!

“Mau minum apa, sayang?”

“Biasa.”

Tequila?”

“Hmmm…”

Single atau double?”

Double, dong ah!”

“Oke. Mas, tolong satu tequila double dan satu ember corona.”

Bayu oke juga, nih!

Selanjutnya, kami berdua hanyut di tengah keramaian orang. Kami menghabiskan bergelas-gelas dan berbotol-botol alkohol. Kami berajojing ria mengikuti musik tanpa henti. Dunia sangat indah, seperti hanya milik kami berdua.

Aku merasa sangat bahagia. Sudah lama aku tidak merasakan saat-saat seperti ini lagi dengannya. Tiba-tiba saja aku merasa sangat rindu dengan Bayu. Aku ingin sekali memeluknya erat-erat. Aku inign menciumnya. Aku ingin bercinta dengannya.

“Bay…”

“Ya…”

“Pulang, yuk!

“Lho, kenapa?”

“Nggak kenapa-kenapa.”

“Kamu sudah mabuk, ya?”

“Nggak, cuma pengen pulang aja.”

“Serius? Sekarang baru juga jam berapa!”

“Serius, nih. Saya pengen pulang.”

“Pulang sekarang juga mau ngapain. Tanggung!”

Hmmm…do I have to say it!

I am horny. I wanna make love to you.

“Hahaha…Kamu pasti sudah mabuk!”

Sialan! Memangnya aku harus mabuk dulu baru mau bercinta?

“Ya udah kalau nggak mau!”

“Tunggu, deh! Sebentar lagi aja. Tanggung, nih. Saya baru pesan minuman lagi.”

“Ya, udah!”

You willnot get it tonight.

Kami pun melanjutkan malam yang panjang itu. Lagi-lagi dengan alkohol dan dansa-dansi.

----

Aku tidak ingat lagi apa yang terjadi dengan diriku malam itu. Yang pasti, aku terbangun dengan pakaian yang masih kupakai malam itu. Begitu juga Bayu yang masih terkapar di tempat tidur. Malah lengkap dengan kaus kaki dan sepatunya.

Ya, ampun! Kita berdua pasti mabuk mabuk berat semalam. Tapi, bagaimana kita bisa sampai di rumah?

Kepalaku terasa berat sekali. Pusing banget! Kepalaku terasa berputar-putar. Telingaku berdenging sangat keras. Aku mual.

“Weeeeekkkkkk……”

“Weeeeekkkkkk……”

Aku muntah. Rasanya sama sekali tidak enak. Tidak ada juga yang keluar dari perutku. Hanya cairan kuning yang rasanya sangat pahit.

Kunyalakan sebatang rokok untuk meringankan perasaanku sekarang ini. Kupaksakan diriku keluar kamar. Aku ingin tahu bagaimana kami pulang semalam.

Ternyata semuanya oke-oke saja. Mobil kami ada di garasi. Pasti Bayu yang menyetir semalam. Masih kuat juga dia! Untung selamat!

----

Sejak malam itu, kami berdua jadi sering pergi dugem lagi. Dansa-dansi lagi. Minum alkohol lagi. Tak jarang kami berdua tidak sadarkan diri. Kami berdua jadi pemabuk.

Inikah ketenangan yang aku cari?

Aku merasa kosong. Hampa. Tenang sih tenang, tapi semuanya palsu. Hanya bias!

Rasa iba kepada seorang pengemis yang diberikan seorang ibu pejabat koruptor dengan sanggul tinggi yang menjulang seperti sarang burung yang bertengger di atas kepala dengan juntaian berkilo-kilo emas emas dan berlian yang melingkar di dada dan pergelangan tangan yang tidak ada artinya dan hanya kepalsuan belaka di sela-sela kebanggaan sebagai seorang yang berkedudukan tinggi yang hidup dengan kemewahan yang justru merupakan penindasan dan perampokan atas jiwa dan diri si pengemis itu sendiri. Tidak akan pernah ada ketenangan di antara kemewahan yang dimilikinya. Semua hanyalah palsu dan bias belaka.

Aku jadi tidak bisa konsentrasi di kantor. Kepalaku jadi sering pusing. Perutku pun jadi sering mual. Sama sekali nggak enak. Kerjaanku jadi mulai berantakan.

Dengan cara inikah kuraih kesuksesanku?

Apa bisa?[arbimariska]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline