[caption id="attachment_97668" align="aligncenter" width="300" caption="Ilustrasi/widyaadika.blogspot"][/caption] Rasa bersalah tidak bisa dibayar dengan air mata. Hanya kerja keras yang mampu melakukannya.
-----
"Selamat! Anda bisa mulai kerja besok pagi." "Terima kasih, Pak!" Wow! I'm back to work! Kegembiraan. Itu yang kurasakan ketika wawancara kerja telah sukses kulewati. Aku memutuskan untuk kembali lagi bekerja. Tidak ada alasan yang bisa membuatku tinggal lebih lama lagi di rumah. Urusan masak memasak, cuci mencuci, bersih membersih, sudah ada yang mengerjakan. Lagipula, aku kan bukan pembantu. Aku juga bukan perempuan bodoh. So, this is my great chance.! Pengalaman kerjaku juga sudah lumayan banyak. Aku pernah bekerja sebagai asisten dosen. Aku juga pernah bekerja di perusahaan multinasional. Sebagai manajer lagi. Kualifikasiku yang tinggi ini tak boleh kusia-siakan. Ia butuh penerapan langsung. Dan dengan bekerjalah semua itu akan terwujud. Jangan pernah ragu dengan keahlianku berbicara pada siapapun dan dalam kesempatan apapun. Aku bisa bicara dengan siapa saja. Aku memang cerewet, tapi bukan hanya membual. Apa yang kubicarakan adalah realita. Fakta. Pengetahuan dan wawasanku luas. Aku tidak takut ditanya apapun. Aku memang banyak tahu. Aku sudah membaca banyak buku, jurnal ilmiah, artikel-artikel ekonomi dan politik, ribuan cerita pendek, dan ratusan Novel. Bahkan, aku sering menuliskan bait-bait puisi juga yang kini masih kusimpan dalam folder pribadi dalam Macbook kesayanganku.
-----
Sungguh beruntungnya aku menemukan seorang sosok suami bijaksana seperti Bayu. Dia selalu mendukung apapun langkah positif yang akan kukerjakan. Dan untuk urusan kerjaku, sebenarnya dia sudah sejak awal melarangku berhenti bekerja. Dia tidak mau aku kehilangan kehidupanku. Dia tidak mau aku mengabaikan semua bakat, kepintaran dan kemampuan yang aku miliki. Dia takut aku merasa jenuh dan bosan menjadi wanita rumahan. Bayu terpesona dengan semua ambisi dan keinginanku. Dia bilang, "aku suka perempuan yang dinamis." Dia juga bilang, kalau dia suka melihatku sibuk bekerja. Dengan begitu, aku kelihatan lebih seksi, semakin aduhai, katanya. Anak pun kami belum punya. Thank Goodness! Sehingga kesempatan yang kumiliki masih sangat banyak. Ya, sudah! Aku juga ingin membuatnya senang. Menghapus semua rasa bersalah yang ada. ----- "Kamu ada acara nanti malam?" "Memangnya ada apa, Pak?" "Nggak, saya ada dinner meeting nanti malam." "Bapak mau mengundang saya?" "Hanya kalau kamu ada waktu." "Apa meeting nanti berhubungan dengan pekerjaan?" "Ya, begitulah. Saya akan meeting dengan beberapa pejabat." Memangnya aku pikirin! Mau pejabat, kek. Mau pejibit, kek. Aku tidak peduli. Kalau memang ada hubungannya dengan pekerjaan, aku baru peduli. "Oh. Tapi, apa perlu saya ikut?" "Sebenarnya, sih, tidak perlu-perlu amat. Tapi saya ingin memperkenalkan kamu dengan mereka. Ya, siapa tahu bisa berguna." Tidak ada salahnya juga. Siapa tahu memang berguna. Asal jangan.... "Ya, sudah. Kalau begitu sampai ketemu nanti malam." ---- Nama bosku Rizal Prayogo. Dia berperawakan tinggi besar dengan perut yang juga lumayan besar. Tipikal bapak-bapak tua yang kebanyakan duit. Kelihatan kalau hobinya makan enak. Buktinya, meeting pun tidak di kantor. Harus dineer meeting. Apalagi kalau bukan sambil makan enak. Untuk pria yang sudah lumayan berumur, penampilannya termasuk oke. Rambutnya yang tipis selalu tersisir klimis. Pakaiannya tak jauh-jauh dari kemeja, dasi dan jas. Kelihatan banget kalau dia seorang bos. Kelihatannya sih, dia memang ingin setiap orang berpikir seperti itu. Dia jarang bicara, hanya kalau perlu saja. Cara bicaranya juga sangat datar. Betul-betul dirancang sedemikian rupa, agar dia kelihatan pintar dan berwibawa. Entah kalau dia memang pintar atau tidak, tapi soal wibawa, dia memang punya. Satu kantor segan bicara sama dia. Wajahnya kalem, tapi sorot matanya tajam dan liar. Kelihatan kalau dia seorang pria yang sangat percaya diri dan sangat licik. Dia juga kelihatan sangat menyukai wanita. Menurut gosip, dia memang suka gonta-ganti pacar. Salah seorang karyawan wanita di kantor pun pernah jadi pacarnya. Atau sampai sekarang masih? Dia adalah sosok orang yang sukses. Perusahaan tempat saya bekerja adalah perusahaan yang bukan hanya dipimpinnya, tapi sebagian besar sahamnya juga dia yang miliki. Kurang lebih ada empat ratus orang karyawan yang sekarang bekerja di perusahaan itu, termasuk aku. Kantornya pun lumayan besar, ada lima lantai. Kebayang, kan, berapa banyak uang yang dia miliki?! ---- Seorang bos bagiku hanyalah seseorang yang posisinya lebih tinggi dariku di kantor. Tidak lebih. Dia harus lebih dariku. Pendidikannya dan juga pengalamannya harus lebih. Percuma kalau dia kalah dariku. Lebih baik aku saja yang jadi bos. Seorang bos hanya bisa memerintah dan menyuruhku untuk melakukan hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan yang aku lakukan. Diluar itu, tak usah, ya. Menjilat bukanlah keahlianku. Aku lebih suka menunjukkan kemampuanku sebagai seorang profesional. Aku tak peduli bila mereka tidak menyukaiku. Yang paling penting bagiku adalah prestasi. Aku yakin, bila aku berhasil, tidak akan ada satu orang pun yang bisa menyangkalnya. Aku juga tidak pernah takut dengan yang namanya bos. Kenapa harus takut? Mereka cuma manusia biasa. Kalau aku salah, aku patut dimarahi. Kalau aku benar, aku akan terus menuntut pengakuan darinya. Aku tidak mau diperlakukan sebagai kacung. Berdasarkan pengalamanku, ada sebagian bos yang suka dengan perilakuku, tapi ada juga yang tidak tidak menyukainya. Aku tidak peduli. Bekerja adalah bekerja. Melakukan semua yang sudah menjadi tugasku dengan sebaik-baiknya adalah tugasku. Sudah pasti, harus yang terbaik. Di luar itu, aku tidak terlalu peduli. Suka atau tidak suka, yang pasti, tidak pernah ada yang menginginkanku meninggalkan pekerjaan. Mereka tahu kalau aku adalah yang terbaik. ---- "Wah, enak juga ya punya pegawai yang mau kerja sampai larut begini." "Iya. Cantik lagi! Hehehe...." Kurang ajar! Dasar laki-laki! "Ya, dia manajer baru di tempatku." "Boleh, dong tukeran? Aku juga butuh manajer baru, nih. " Sialan! Memangnya aku barang! "Dia memang pintar. Susah mencari orang seperti dia." Thank you. "Nah, justru itu dia. Jarang kan ada perempuan cantik dan pintar sekaligus. Bisa diajak pergi sampai malam lagi!" Apa maksud, lu? "Saya seorang profesional. Saya akan berusaha semaksimal mungkin memberikan yang terbaik. Waktu bukan masalah bagi saya, tapi berhubungan dengan orang yang sama sekali tidak profesional, itu adalah masalah besar." Aku berdiri dan meninggalkan keempat orang laki-laki gendut dan jelek yang sedang terbengong-bengong itu. Memangnya aku perempuan murahan! ---- "Diana." "Yap." "Kenapa kamu tadi malam pergi begitu saja?" "Bapak marah?" "Nggak. Saya mengerti kalau kamu tidak suka dipermalukan seperti itu, tapi saya juga tidak suka kalau kamu bertingkah seperti itu." "Maaf!" Ups. Kenapa saya harus minta maaf? Seharusnya dia yang minta maaf. Dia yang mengajak saya. Seharusnya dia tahu kalau orang-orang itu akan memerlakukan saya seperti itu. "Kamu seharusnya mengerti posisi saya. Saya sengaja mengajak kamu. Kamu punya kemampuan untuk bisa mendukung saya. Saya tahu itu." "Maksud Bapak?" "Banyak orang yang pintar di perusahaan ini. Bahkan jauh lebih pintar dan berpengalaman dari kamu. Tapi...." "Tapi, apa, Pak?" "Tapi kamu punya kemampuan untuk bisa menarik orang lain!" Karena saya cantik? Begitu! "Maksud Bapak?" "Kamu cantik dan saya juga tahu kalau kamu orangnya supel dan ramah." Ya, terus? "Tadinya saya berharap kamu bisa membuka peluang bagi saya, untuk bisa lebih mudah berhubungan dengan mereka." Oh! Dengan menjual saya? "Saya harap kamu tidak berpikir macam-macam, tapi kamu tahu sendiri, kan, bagaimana dunia bisnis." "Jadi Bapak berharap supaya saya bisa menjadi jembatan antara perusahaan ini dengan mereka?" "Ya." "Dengan cara apa?" "Entah. Dengan semua cara yang kamu bisa?" "Bagaimana kalau hanya dengan satu cara?" "Apa?" "Hanya dengan kelebihan fisik yang saya miliki." "Ya, itu sih, terserah kamu." "Demi perusahaan?" "Demi perusahaan." Dasar murahan! "Kalau begitu, apa keuntungannya buat saya?" "Ya, kamu atur-atur sendiri sajalah." Cukup! I quit! Saya masih punya harga diri. Kamu pikir kamu ini siapa? Kamu pikir perusahaan ini apa? Kamu pikir orang-orang itu siapa? Saya sudah punya segalanya. Lebih baik kamu jangan macam-macam. Saya punya lebih dari kamu. Saya punya lebih dari perusahaan ini. Saya punya lebih dari orang-orang itu. Titik! "Kalau begitu, saat ini juga saya mengundurkan diri. Semua tidak ada artinya bagi saya. Perusahaan ini, bapak, dan juga orang-orang itu. Saya masih punya harga diri. Kalau memang itu tujuan bapak, lebih baik bapak mencari orang lain saja. Selamat tinggal!" ---- Aku bukan orang yang mendukung emansipasi wanita. Hanya orang bodoh yang bisa memahaminya. Biar bagaimanapun juga, wanita dan pria adalah sederajat. Sama-sama manusia, kok. Sama-sama ciptaan Tuhan. Buat apalagi berusaha, kalau memang pada dasarnya sudah sederajat. Perempuan dan laki-laki dilahirkan ke dunia untuk menjadi manusia yang merupakan makhluk tertinggi dan termulia yang pernah diciptakan-Nya tanpa ada perbedaan kasta ataupun derajat yang membuat perempuan dan laki-laki tidak mempunyai kesempatan yng sama untuk menjadi makhluk yang tertinggi dan termulia yang tidak harus dipertanyakan dan dibuktikan dengan adanya pengakuan ataupun pembuktian yang datang justru dari makhluk yang tertinggi dan termulia itu sendiri. Semua hanya masalah persepsi. Yang penting kita tahu di mana harus menempatkan posisi. Aku menempatkan posisiku sebagai subjek dan objek di tempat-tempat yang aku pikir perlu. Itupun kalau aku memang menginginkannya. Pada saat itu, aku tidak suka diperlakukan sebagai objek. Aku hanya mau menjadi seorang objek bila aku memang menginginkannya. Hanya segelintir orang terpilih yang bisa melakukannya. Bukan mereka. Aku bisa saja menjadi subjek saat itu. Kesempatanku besar sekali. Aku bisa mendapatkan apa saja yang aku mau. Aku bukan perempuan bodoh. Memanfaatkan seorang laki-laki bukanlah hal yang sulit. ---- Aku bangga dengan keputusanku. Sebagai perempuan, wajar sekali bila aku merasa bangga karena lepas dari masalah yang selama ini mengitari kehidupanku. Sebagai seorang istri yang menyesal, aku sangat benar-benar bangga. Aku bisa membayar semuanya. Kini hutangku sudah terbayar lunas. Semuanya sudah impas! Aku akan terus berjalan dengan kepala tegak menatap lurus ke depan menuju puncak impian yang dulu kutanamkan dalam jiwaku. Aku akan meneruskan hidup baru yang telah kupilih oleh diriku sendiri. Jadi, tak perlu ada pelarian, karena semua yang kulakukan adalah sebuah pilihan. Pilihan hidupku sendiri.[arbimariska]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H