Lihat ke Halaman Asli

Athanasius Allan Darma Saputra

Mahasiswa Hukum Universitas Diponegoro

Flexing Akademis: dari Fear of Missing Out hingga Penyakit Krocojiwa

Diperbarui: 16 Oktober 2024   11:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Akhir-akhir ini, sosial media Indonesia diramaikan dengan kemunculan perilaku flexing pencapaian akademis. Pada bulan Juni 2024, TikTok dihebohkan dengan unggahan video salah satu pengguna yang berisi tayangan perayaan kelulusannya sebagai siswa SMA. Video tersebut viral karena pengunggahnya menyematkan gelar “MIPA” di belakang namanya pada selempang yang dikenakannya. Dalam video klarifikasinya, sang pengunggah video justru mempertanyakan kesalahan pencantuman gelar “MIPA” dengan dalih bahwa sang pengunggah mengikuti gaya mutakhir yang sedang berkembang.

Kasus lain yang menjadi buah bibir masyarakat terkait gelar akademis adalah pemberian gelar Doktor Honoris Causa kepada salah satu selebritas kenamaan Tanah Air dari Universal Institute of Professional Management (UIPM). Kemendikbudristek sampai-sampai mengeluarkan surat pemberitahuan bahwa UIPM belum mendapatkan izin penyelenggaraan pendidikan oleh kementerian. Ditambah dengan adanya kasus rekayasa syarat guru besar yang dilakukan Universitas Lambung Mangkurat hingga menyebabkan penurunan akreditasi.

Flexing sampai Budaya Manusia Indonesia

Menurut Cambridge Dictionary, flexing berarti “perilaku menunjukkan rasa bangga atas sesuatu yang telah dicapai atau dimiliki, tetapi dengan cara yang terkadang mengganggu orang lain”. Psikologi sosial, menurut Antawati & Ilma dalam Yuniar et al. (2023), menyatakan bahwa perilaku flexing segala sesuatu yang dimiliki, termasuk capaian akademik, dilakukan untuk menunjukkan kedudukan sosialnya supaya individu tersebut lebih diinginkan di mata orang lain sehingga dapat memperluas koneksi dalam masyarakat. Di sisi lain, flexing menjadi cara seseorang untuk memperoleh validasi dan perhatian orang lain (Putri & Rosa, 2024). Hal tersebut membawa seseorang yang memiliki kecenderungan untuk flexing menjadi individu yang Fear of Missing Out (FoMO). Przybylski et al. dalam Qutishat (2020) menjelaskan definisi Fear of Missing Out (FoMO) sebagai kekhawatiran bahwa orang lain mungkin mendapatkan pengalaman berharga, sedangkan seseorang tidak memiliki pengalaman tersebut.

Sebenarnya, flexing maupun FoMO juga telah lama menjangkiti perguruan tinggi. Dewasa ini, kembali ramai diperbincangkan adanya upaya desakralisasi (penghilangan kesakralan) gelar profesor yang dilakukan oleh Rektor Universitas Islam Indonesia, Fathul Wahid. Upaya tersebut dilakukan karena maraknya praktik obral gelar dan jabatan kehormatan oleh kampus (Wahid, 2024). Demi dapat menambahkan gelar “Prof.” di depan namanya, banyak pihak menerobos norma yang telah ditetapkan, seperti menggunakan jurnal predator yang tidak memakai tinjauan sejawat dan lewat persekongkolan dengan para asesor di Kementerian Pendidikan.

Mentalitas menerobos telah dianalisis oleh Koentjaraningrat dalam Soekanto (1987) sebagai gejala yang pada hakikatnya menimbulkan sikap untuk menggapai tujuan dengan cepat tanpa banyak berkorban atau mengikuti kaidah-kaidah yang semestinya dan tanpa adanya suatu kesadaran akan tanggung jawab ataupun mutu. Mentalitas menerobos dalam dunia akademik disebabkan karena para penerobos merasa FoMO untuk menunjukkan bahwa mereka juga cerdas selayaknya seorang profesor.

Keinginan untuk dapat diakui dan tetap eksis di lingkungan sosial tempat mereka berada akan membawa mereka menjadi snob. Seorang snob senang meniru gaya hidup yang dianggap lebih daripadanya tanpa perasaan segan. Orang yang memiliki kecenderungan flexing dan FoMO akan selalu menirukan gaya hidup orang atau komunitas sosial yang menjadi patronnya, seperti seorang snob.

Rupa-rupanya, mentalitas manusia Indonesia tersebut sudah pernah disinggung oleh Mochtar Lubis pada pidato kebudayaan tahun 1977 di Taman Ismail Marzuki. Beliau menyampaikan, “Dia (manusia Indonesia) lebih suka tidak bekerja keras, kecuali kalau terpaksa. … atau dengan mudah mendapat gelar sarjana, sampai memalsukan atau membeli gelar sarjana, supaya segera dapat pangkat, dan dari kedudukan berpangkat cepat bisa menjadi kaya.” Sungguh suatu ironi bahwa apa yang disuarakan oleh Mochtar Lubis lebih dari 40 tahun lalu masih tetap menjadi masalah bagi bangsa Indonesia hingga saat ini.

Menderita Krocojiwa

Sejatinya, pemerintah telah mengatur konsekuensi dari penggunaan gelar akademis palsu. Hal tersebut dituangkan dalam berbagai aturan, salah satunya Pasal 93 UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang menyatakan bahwa perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan tinggi yang tanpa hak memberikan gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar profesi akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 

Sebenarnya, hal paling mendasar atau preventif untuk menghapus kebiasaan-kebiasaan buruk tentang flexing akademis adalah penghilangan penyakit krocojiwa (inferiority complex) atau rasa minder yang berlebihan dalam diri manusia Indonesia. Istilah krocojiwa dicetuskan oleh almarhum Dr. Sudjoko sebagai terjemahan dari istilah inferiority complex (rasa inferior berlebihan). Seseorang yang mengalami krocojiwa akan merasakan adanya ruang hampa di dalam mentalitas mereka yang harus mereka isi (Mulyana, 2024). Relung kosong dalam jiwa mereka harus diisi agar mereka tetap merasa eksis dan tidak tertinggal serta menjadi bagian dari suatu komunitas kebudayaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline