Bagaimana jika kamu bisa kembali ke masa lalu dan bertemu dengan dirimu di usia 9 tahun?
Jika saja benar aku bisa bertemu dengan diriku yang masih berusia 9 tahun, mungkin aku akan bilang bahwa banyak sekali ketakutan-ketakutan yang sebenarnya tidak perlu. Hadapi saja masa kecilmu itu dengan riang, bahagia dan tanpa beban.
Ingin rasanya aku bercerita mengenai beratnya menjadi dewasa lalu menua. Seolah bisa tertawa riang dan bahagia adalah sebuah kemewahan. Terlalu banyak beban hidup serta tanggung jawab yang harus diemban dan terasa semakin berat karna ternyata segala hal tidak berjalan seperti yang kamu bayangkan ketika kecil.
Di usiaku ini berteman bukan lagi sesuatu yang ringan dan menggembirakan. Orang sibuk dengan hidup dan tanggung jawab masing-masing. Tapi kabar baiknya, kamu bisa mengintip isi dapur kawan-kawanmu melalui media sosial. Jika dulu dapur adalah tempat yang kotor dan terbelakang, maka di jaman ini image-nya sudah berubah. Orang-orang mulai memposting bentuk serta isi dapur mereka. Jadi meski nanti teman-temanmu tinggal jauh, kamu tetap bisa tahu apa warna dapurnya, ada apa saja di sana, bagaimana rumahnya, apa merek mobilnya serta makanan apa yang mereka makan.
Hal seperti itu di jamanmu mungkin terdengar sangat menyenangkan. Tapi faktanya tidak seindah itu. Kamu akan mulai membanding-bandingkan dirimu dengan mereka, rumahmu, keluarga kecilmu serta pencapaianmu. Adakalanya kamu merasa tidak berguna, pekerjaanmu yang biasa-biasa saja, gaji tak seberapa, rumah dan mobil belum ada, circle pertemanan yang tidak keren, letak kantor yang tidak berada dipusat kota dan lain sebagainya. Itu semua adalah imbas dari kemudahan mengintip hidup orang lain.
Ada masa di mana kamu semakin bertambah usia dengan keputusasaan dan istilah menua entah mengapa terdengar amat menyeramkan. Di saat itulah kamu ingin sekali kembali ke masa kanak-kanak. Masa yang dulu lebih sering kau kutuk dan kau sesali itu!
Jadi bisakah kita bertukar cerita? Aku akan menolong masa kecilmu dengan kabar dari masa depan dan kau mengajariku untuk bahagia dengan cara yang paling sederhana. Sesederhana kebahagiaan anak kecil karena mendapat pinjaman mainan dari temannya.
Coba bayangkan saja dulu! Aku bertemu kamu, diriku di usia 9 atau 10 Tahun. Kita duduk di pinggiran sungai Kaligarang, tempat di mana kamu biasa menceburkan diri semasa libur sekolah bersama teman-teman. Sesekali Pak Tani lewat memakai caping dan membawa cangkul di bahunya, persis seperti gambar di buku-buku sekolah. Kali ini kita tidak nyebur, hanya duduk-duduk santai di bawah pohon kapuk yang sudah menggugurkan buahnya.
Kamu berkeluh kesah mengenai kesulitanmu mencerna matematika. Aku mendengarkanmu dengan hati-hati karena kala itu kamu belum terlalu pandai menata emosi. Selain itu kamu termasuk orang yang kecil hati. Di sentil sedikit saja sudah membuatmu kepikiran sampai tak bisa tidur hingga pagi. Kamu juga mudah sekali merasa rendah dan tak berguna hanya karena hal-hal kecil dan sederhana.
Usai kau selesaikan kalimat terakhirmu, aku akan mulai menata kata-kata. Menceritakan betapa kelak dirimu akan banyak berubah meski masalah akan selalu bertambah. Tapi tak apa, setidaknya kamu memiliki pemahaman yang cukup untuk mengerti tentang ketidakadilan dunia.