"Berbaktilah pada orang tua selagi mereka ada. Karena saat mereka tiada, sungguh, hanya sesal yang ada. ((Mudah-mudahan) Bukan Ramadhan Terakhir, Rima RL)"
Salah satu quote panutan menulis saya Mb Dian Nafi
Salah satu hal yang pasti hilang ketika mudik itu dilarang adalah sungkeman. Di Indonesia khususnya di Jawa, tradisi rutin ketika lebaran adalah maaf-maafan, hal tersebut dilakukan dengan cara sungkem atau bersimpuh dihadapan ke dua orang tua, mencium ke dua tangannya dan memohon maaf atas segala kekhilafan yang pernah di lakukan.
Rasanya itulah puncak bakti seorang anak, pulang dan tunduk di hadapan orangtuanya. Seperti yang kita tahu, kasih sayang anak terhadap orang tua tak akan pernah bisa menyaingi kasih sayang orang tua kepada anaknya.
Sungkeman hanyalah bentuk rasa terima kasih, rasa syukur dan kasih sayang yang juga membuat orang tua lega meski itu tak mampu mengganti kasih sayang dan doa yang selalu mereka panjatkan untuk kita.
Selain permintaan maaf, sungkem juga upaya memohon doa serta restu dari ke dua orang tua. Minta jodoh bagi yang jomblo, minta pekerjaan bagi yang nganggur dan lain sebagainya.
Seperti halnya di keluarga saya. Selepas salat Id dan sebelum mencicipi hidangan lebaran, kami rutin melakukan sungkeman. Di sinilah puncak tangis lebaran akan pecah, entah karena rasa rindu karena yang jarang bertemu ataukah perasaan bersalah karena saking banyaknya dosa.
Seusai sungkeman, biasanya Bapak memberikan sedikit wejangan, tentang hidup, tentang agama dan tentang salat. Jangan pernah meninggalkan salat, itulah yang paling beliau tekankan kepada anak-anaknya.
Tanpa mengurangi rasa hormat kepada orang tua kita, mohon maaf tapi sepertinya aksi sungkeman tahun ini harus diganti dengan video call dan telefon. Meski kita akan mengucapkan kalimat yang sama dengan tangis yang sama tapi rasanya pasti berbeda.
Rasa rindu, bersalah dan sayang kepada orang tua memang lebih dalam dan berasa ketika dilakukan dengan bersimbuh, menundukkan kepala dan menyentuh tangan dan memeluk mereka.
Lebaran tahun ini tentu akan terasa berbeda. Rasanya pasti ada yang kurang, tak terkecuali bagi kami yang biasa berkumpul dan melakukan sungkeman. Larangan mudik sudah digaung-gaungkan jauh-jauh hari. Kami pun hanya bisa menurut sembari sesekali berdoa agar pandemi ini segera selesai dan kami bisa mudik.