Saya terlahir di era di mana kaset tape menjadi jimat ampuh pereda sepi dan galau. Di jaman kami, jika ingin mendengar satu lagu favorit maka harus bersabar untuk menunggu seluruh lagu terputar seluruhnya.
Jikalaupun tak sabar, kami bisa memencet fast forward dan menunggu seluruh pita berputar puluhan kali lebih cepat. Butuh perjuangan memang.
Di jaman kami, kaset tidak hanya sekadar penghubung antara talenta seniman dengan telinga pendengar. Terkadang kaset bisa menjadi sebuah hadiah untuk perayaan tertentu, ulang tahun, valentine, atau mungkin juga pernikahan.
Gadis-gadis akan menyisihkan uang saku untuk membeli satu judul kaset band atau penyanyi kesukaan pria yang mereka sukai, begitu pun sebaliknya.
Saya masih kecil di masa-masa seperti itu. Tanpa uang, saya harus merengek ke orang tua jika menginginkan satu buah kaset tertentu. Tentu mereka tak memberikannya cuma-cuma, saya harus mendapat ranking 1 di kelas barulah bisa menyebut judul kaset yang ingin saya miliki.
Basejam dengan lagu andalan Bukan Pujangga membuat saya belajar ekstra keras untuk mendapatkannya. Itulah kaset pertama yang berhasil saya miliki.
Satu hal yang mungkin tak dimiliki anak sekarang adalah rasa bahagia ketika mampu memiliki lagu kesukaan dengan jerih payah sendiri. Mungkin itulah yang membuat lagu-lagu jaman dulu tak tergantikan.
Sisa-sisa serpihan masa kaset tape bisa kita lihat dalam film Galih dan Ratna tahun 2017 lalu. Film garapan Lucky Kuswandi tersebut mengemas kisah romantis legendaris Galih dan Ratna dengan versi lebih millennials.
Film tersebut juga mengukir kenangan tentang kaset tape lewat sesosok Galih yang digambarkan sebagai seorang yang unik dan klasik.
Di kala anak remaja jaman now mendengarkan lagu melalui Hp, Galih malah memilih mendengarkan kaset dengan walkman.
Bagi Galih, mendengarkan kaset tape sama saja dengan mendengar seorang musisi bercerita. Selain itu, Galih juga bersikeras mempertahankan toko kaset lawas peninggalan mendiang ayahnya.