Niatan awal Sahur on The Road adalah untuk berbagi sahur berupa nasi bungkus atau kotak kepada mereka yang kurang mampu dan tuna wisma. Tapi seiring berjalanannya waktu kegiatan tersebut mengalami pergeseran niat menjadi ajang tren-trenan, dan pergesekan antar kelompok tertentu.
Kegiatan ini mayoritas didominasi oleh pemuda-pemudi sehingga rawan akan pergesekan bahkan tawuran seperti yang baru-baru ini terjadi. Masih hangat diberitakan, minggu dini hari lalu terjadi tawuran antar pemuda di jalan Saharjo, Tebet dan SMK Penerbangan, Kebayoran Baru Jaksel saat malaksanakan Sahur on The Road.
Tahun 2011, Sahur on The Road juga memakan korban yang mana terjadi kecelakaan tunggal di kawasan Pejaten, Jakarta Selatan (kompas.com). Kala itu para peserta SOTR berkonvoi menggunakan mobil sementara usia masih di bawah umur. Ada lagi cerita di mana peserta SOTR malah saling lempar petasan dengan peserta dari komunitas lain. Bahkan tahun lalu polisi mendapati ada yang membawa sebilah celurit. Hal-hal negatif semacam ini sudah sering hilir mudik di telinga kita dan memenuhi beberapa judul berita.
MUI sendiri pernah menyebut kegiatan Sahur On The Road lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya. Pro kontra terus bergulir di tengah masyarakat. Niat mulia Sahur on The Road sudah tertutup dan ternoda oleh beberapa aksi negatif. Belum lagi kegiatan tersebut menimbulkan beberapa kemacetan di sejumlah titik di Jakarta. Sangat disayangkan, kegiatan yang tujuannya baik malah menjadi negatif, rawan bentrokan dan membuat cemas para orang tua.
Pada masa pemerintahan Ahok-Djarot SOTR sudah pernah dilarang. Baru-baru ini wakil Gubernur Sandiaga Uno juga mengimbau warga Jakarta untuk tidak melakukan aksi SOTR lagi selama ramadan. Beliau mengusulkan untuk warga yang ingin berbagi takjil atau sahur lebih baik dipusatkan di masjid-masjid saja. (tribunnews.com)
Menanggapi Sandiaga Uno, saya secara pribadi setuju bahwa kegiatan SOTR sebaiknya dihentikan untuk menghindari jatuhnya korban tambahan. Kita tentu tidak ingin di bulan ramadan yang suci ini bukan amalan yang bertambah melainkan dosa. Bahkan untuk lebih menegaskan perlu dikeluarkan Perda larangan SOTR.
Sebagai gantinya kita bisa membuat istilah baru dengan nama Sahur on The Mosque (SOTM) yang dikoordinir oleh remaja setempat. Jadi remaja atau warga tidak perlu menggunakan kendaraan untuk keluar dari wilayah mereka. Hal tersebut juga menambah kegiatan di masjid dan para remaja menjadi lebih dekat dengan masjid mereka sendiri.
Sahur di masjid tidak sulit dilakukan mengingat di Indonesia, menemukan titik masjid antar satu sama lain tidaklah jauh. Kecuali di daerah terpencil dengan mayoritas penduduk non muslim. Artinya niat untuk membantu kaum dhuafa bersahur bisa dilaksanakan secara merata. Seperti halnya ngabuburit dan berbagi takjil di masjid, SOTM lama-lama akan dikenal banyak orang. Artinya mereka para dhuafa dengan sendirinya akan mendekati masjid dengan radius terdekat. Bukankah lebih utama menolong dhuafa di sekitar lingkungan kita sendiri ketimbang jauh-jauh ke daerah lain dengan berkonvoi?
Memusatkan kegiatan semacam itu di masjid juga mengurangi pandangan negatif soal tidak adanya aparat atau pihak tertua dalam mengawasi kegiatan, karena pasti dari pihak RT dan orang tua setempat mengetahui, memantau bahkan mendukung kegiatan tersebut. Intinya dengan mengubah titik dari jalanan ke masjid akan mengurangi pergesekan antar peserta, menyelamatkan niat mulia untuk berbagi dan menghindari hal-hal negatif yang tidak diinginkan.
Saya mendukung sekali imbauan Wagub untuk para remaja dan warga kembali memperhatikan dan mengelola masjid. Dan mendukung agar larangan SOTR lebih diseriuskan lagi menjadi sebuah Perda agar bisa dipastikan tidak ada lagi yang melakukan Sahur On The Road.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H