Saya merasa menjadi salah seorang yang diberkahi Tuhan karena masih bertemu ramadan tahun ini. Setiap kali melihat teman, kerabat atau orang yang kita tahu berpulang lebih dulu, saya merenung, akankah saya masih bertemu ramadan tahun depan? Jika mengingat itu, rasanya seperti ingin membingkai setiap kejadian selama ramadan. Mungkin saja itu akan menjadi satu kenangan terakhir yang tak akan terulang.
Aura ramadan selalu menghadirkan rasa dan kehangatan tersendiri dalam sebuah keluarga. Banyak cerita dan kerceriaan di dalamnya. Dulu, semasih tinggal di kampung halaman bersama ke dua orang tua, banyak sekali kenangan selama ramadan. Mulai dari kegiatan di luar rumah seperti tadarus di masjid bersama teman-teman, mengisi buku ramadan, jalan-jalan pagi setiap hari libur, maupun kegiatan di dalam rumah seperti membantu ibu menyiapkan buka dan sahur. Menjelang akhir puasa kami juga mulai mempersiapkan penyambutan hari raya. Kami membuat Wajik Bandung, di antara kue yang lain kue itulah yang selalu kami buat setiap tahun.
Untuk membuat Wajik Bandung diperlukan banyak tangan, pasalnya setelah adonan di angkat dari kompor dan harus dibungkus dengan kertas minyak haruslah cepat, jika keburu kering maka tidak akan bisa dibentuk. Maka dari itu, kami sekeluarga terlibat dan saling berlomba membungkus sebanyak-banyaknya. Kami juga bersih-bersih rumah bersama, membuang barang-barang yang tidak terpakai, mencuci gorden, mengepel lantai, dan yang hanya dilakukan setahun sekali, mencuci kursi.
Namun hidup terus berputar, dari kampung halaman, saya harus pindah ngekos karena alasan pekerjaan. Ramadan di kos awalnya terasa menyedihkan karena saya selalu ingat rumah, ingat masakan ibu, ingat sahur bersama keluarga, dan hal-hal yang saya lakukan bersama teman-teman selama ramadan. Namun, lambat laun saya pun terbiasa dan mulai menikmati ramadan jauh dari rumah.
Beruntung punya teman kos baik, dan dialah partner in crime saya. Kami melakukan segalanya bersama. Saat buka kami akan berbagi lauk yang kami beli di warteg, saya juga sering nebeng nasi di magicom miliknya. Saat sahur kami akan pergi ke luar untuk cari makan bersama lalu bercerita sembari menunggu waktu imsyak. Terkadang saat tidak lembur dan pulang kantor lebih lebih awal, kami juga tadarus bersama. Kami menghabiskan waktu dengan bercerita tentang kondisi kantor, keinginan berumah tangga, dan kerinduan terhadap rumah. Kehadiran teman kos saat itu cukup mengobati kerinduan akan ramadan bersama keluarga.
Lulus dari kos, saya pun membina rumah tangga dan pindah kota. Ramadan terasa sepi karena pekerjaan suami yang mengharuskannya sering dinas ke luar kota. Membangun keromantisan dalam kondisi terpisah itu tidak mudah. Bagi kami, perhatian meski hanya lewat pesan suara adalah salah satu bentuk keromantisan. Kami akan saling mendahului mengucapkan selamat berbuka, dan saling membangunkan dengan menelfon di kala sahur. Selama masih saling menjaga komunikasi, saling pengertian dengan kondisi dan masih perhatian satu sama lain itulah arti romantis bagi kami.
Di kala ia pulang ke rumah itulah salah satu bukti kebahagiaan. Ia akan berubah menjadi lelaki romantis sebelum pada akhirnya pergi dinas lagi. Sering saya terbangun sahur dan mendapatinya tengah membuat teh untuk kami. Mungkin itu cara permintaan maaf terbaik yang bisa ia lakukan karena selama ramadan jarang di rumah. Ia juga menawarkan banyak bantuan, mengepel lantai, mencuci piring dan menjemur pakaian. Melihatnya tergopoh-gopoh membawa setumpuk pakaian membuat saya sadar, ia adalah pria paling romantis.
Begitulah cara kami menjaga keromantisan selama ramadan. Apapun itu, ramadan akan terasa berkesan bila kita mensyukuri apapun keadaan dan di manapun kita berada. Hal-hal romantis itu sebenarnya tidak jauh, ia dekat dan sederhana. Kita hanya perlu bersyukur untuk bisa melihatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H