Lihat ke Halaman Asli

Indikator Perubahan Desa

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Istilah Desa secara umum dikenal di daerah Jawa, Bali, dan NTB, di daerah lain masyarakat mengenal sebutan sendiri-sendiri seperti Gampong dan Meunasah (Aceh), Huta dan Huria (Tapanuli), Lembang (Toraja), Nagari (Sumatera Barat), Marga (Sumatera Selatan), Tiuh atau Pekon (Lampung), Desa Pakraman/Desa Adat (Bali), Banua dan Wanua (Kalimantan), Kampung (Sulawesi), Negeri (Maluku) dan lain-lain.

Desa menurut Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

Secara sosiologis, desa dapat digambarkan sebagai komunitas penduduk yang menetap di suatu lingkungan, dimana diantara mereka saling mengenal dengan baik dan corak kehidupannya masih bergantung pada kebaikan alam. Dalam Konteks politik, desa merupakan suatu kesatuan masyarakat hukum yang berkuasa menyelenggarakan pemerintahan sendiri.

 

Desa dalam pengertian secara ekonomi adalah suatu lingkungan masyarakat yang berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari dari apa yang disediakan alam disekitarnya yang bisa berupa tanah pertanian, hutan, danau dan laut. Kegiatan sehari-hari masyarakat desa diantaranya bertani, beternak, menangkap ikan, menenun pakaian, membuat anyaman dan kegiatan lainnya sebagai usaha untuk mempertahankan kehidupan.

 

Desa sebagai Pusat Perubahan

Pemerintahan Jokowi memiliki  visi terwujudnya Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian berlandaskan gotong royong, salah satu  dari tiga problem pokok bangsa yang disebutkan dalam visi misi Jokowi adalah “Kelemahan sendi perekonomian bangsa. Lemahnya sendi-sendi perekonomian bangsa terlihat dari belum terselesaikannya persoalan kemiskinan, kesenjangan sosial, kesenjangan antar wilayah, kerusakan lingkungan hidup sebagai akibat dari eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, dan ketergantungan dalam hal pangan, energy, keuangan dan teknologi. Negara tidak mampu memanfaatkan kandungan kekayaan alam yang sangat besar, baik yang mewujud (tangible) maupun bersifat non fisik (intangible), bagi kesejahteraan rakyatnya.

 

Saat ini ada sekitar 73.000 Desa dan 8000 Kelurahan di Indonesia, desa masih menjadi penyumbang utama angka kemiskinan di Indonesia. Wajah memprihatinkan desa bisa digambarkan dengan pendapatan petani yang masih sangat rendah. Sebagai contoh, saat ini rata-rata penghasilan petani padi yang memiliki lahan 0,25 ha kurang dari 500.000/bulan. Padahal jumlah rumah tangga petani padi di Indonesia sebesar 14 juta KK dengan rata-rata kepemilikan lahan 0,25 ha.

 

Situasi kemiskinan desa yang begitu tinggi ini sebenarnya bisa ditelusuri dalam sejarah perkembangan desa di Indonesia. Desa yang merupakan organisasi kekuasaan paling awal dan memiliki otonomi asli, yaitu otonomi yang yang diperoleh dari dirinya sendiri semenjak ia berdiri, kemudian dikooptasi dan menjadikannya subordinat dari organisasi kekuasaan yang lebih besar yang datang kemudian, seperti kerajaan atau Negara. Proses pengkerdilan desa telah berlangsung lama sejak zaman kerajaan di masa lalu seperi Sriwijaya, Majapahit, Mataram dan diteruskan hingga zaman VOC Belanda. Tugas yang paling banyak dilakukan Pemerintah Desa secara umum adalah melaksanakan perintah pemerintah atasan atau membantu pelaksanaan program oleh satuan-satuan kerja Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

 

Hal lain yang patut dicermati adalah adanya fenomena pengurus organisasi sosial dan politik yang ada di desa juga menjadi bagian paling rendah dari organisasi induknya, sehingga hanya  memiliki sedikit akses dalam proses pembuatan keputusan organisasi.  Dalam bidang ekonomi , terlebih di era liberalisasi ekonomi, posisi desa semakin lemah. Saat masyarakat desa berposisi sebagai konsumen,  hanya bisa mengikuti harga yang ditentukan produsen, sementara saat mereka berposisi sebagai produsen, harga harus mengikuti keinginan pembeli.

 

Pemerintahan Jokowi memiliki Pekerjaan Rumah yang amat besar untuk menjadikan desa sebagai pusat perubahan . UU Desa No 6 Tahun 2006 sebenarnya memiliki spirit untuk menjadikan desa sebagai pusat perubahan. UU ini dibuat berdasarkan asas rekognisi, subsidiaritas, keberagaman, kebersamaan, kegotongroyongan, kekeluargaan, musyawarah, demokrasi, kemandirian, partisipasi, kesetaraan, pemberdayaan dan keberlanjutan

 

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana mengukur perubahan desa menjadi desa yang lebih maju dan mandiri atau sebaliknya berubah menjadi desa yang semakin terpuruk akibat pelaksanaan UU Desa ini? Menurut hemat Penulis ada 3 indikator  yang bisa digunakan untuk mengukur perubahan desa.

 

Pertama; masih adakah falsafah desa yang menjadi pedoman hidup masyarakat desa? Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa selama ini semangat gotong royong bersumber dari nilai-nilai kehidupan masyarakat desa. Jika menilik sejarah terbentuknya desa, terutama desa-desa tua, maka kita akan mendapatkan adanya hubungan kekerabatan antar warganya. Adanya hubungan darah inilah yang membangun semangat “guyub” dan “kekeluargaan” di desa. Semangat berbagi antar warga desa tentu merupakan nilai luhur yang tidak boleh luntur akibat adanya UU Desa. Jika semangat gotong royong sudah mulai luntur maka UU ini mengamanatkan untuk mendorong tumbuh kembangnya jiwa gotong royong.

 

Kedua;  bagaimana institusi atau kelembagaan yang ada di desa menjalankan perannya? Saat ini ada begitu banyak kelembagaan yang ada di desa, diantaranya: (1)kelembagaan pemerintah desa yang terdiri dari kepala desa dan perangkatnya, BPD hingga RT dan RW, (2) kelembagaan agama seperti organisasi keagaaman seperti NU, Muhammadiyah dan sejenisnya,  (3) kelembagaan politik dimana hampir setiap partai memiliki pengurus ranting di tiap desa, (4) kelembagaan sosial budaya seperti organisasi petani, pemuda, sanggar seni, dan sebagainya dan (5) kelembagaan ekonomi seperti Koperasi, Warung, Toko, CV atau PT. Jika kelembagaan yang ada di desa berjalan dan bekerjasama dengan baik, maka perubahan desa menuju ke arah yang lebih maju bukanlah sebuah yang mustahil.

 

Ketiga; bagaimana masyarakat desa mengoptimalkan sumber kekayaan alam dan sumber daya manusia yang ada?. Potensi kekayaan alam di pedesaan sangatlah melimpah, namun belum terkelola dengan baik. Sektor pertanian, peternakan, kerajinan, pariwisata, perikanan, kehutanan, perairan, kelautan hingga pertambangan sebagian besar ada di desa, namun penerima untung terbesar dari rantai ekonomi bukanlah masyarakat desa. Selain kekayaan alam, jumlah sumber daya manusia yang ada di desa  sangat besar. Jumlah angkatan kerja yang produktif dan terampil  di desa dapat dioptimalkan untuk mengelola berbagai produk mentah menjadi produk olahan agar memiliki nilai ekonomi yang tinggi.

 

Pada akhirnya, pemerintahan Jokowi harus terus mengevaluasi kinerja kabinetnya agar amanat UU Desa ini mampu memberikan kontribusi  nyata bagi terwujudnya desa yang mandiri dan sejahtera. Enam bulan masa kepemimpinan ini, publik belum melihat adanya perubahan yang nyata di tingkat masyarakat desa. Hal ini memerlukan perbaikan agar di akhir jabatan nanti, masyarakat desa mampu keluar dari jeratan kemiskinan dan ketertinggalan. Memang tidak mudah, tapi dengan semangat revolusi mental semoga harapan besar ini bisa terwujud, Amien.

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline