Lihat ke Halaman Asli

Aparat Keamanan Tidak Tidur dalam Kerusuhan Tolikara

Diperbarui: 24 Juli 2015   17:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Kerusuhan yang terjadi di Tolikara Papua pada beberapa waktu lalu merupakan kerusuhan dengan latar belakang agama pertama di tanah Papua. Kerusuhan tersebut menyebabkan satu orang meninggal dan sepuluh orang terluka karena tembakan aparat polisi. Penyebab terjadinya kerusuhan di Tolikara masih simpang siur karena diduga ada kelompok berkepentingan yang ingin merusak kerukunan antar umat beragama di tanah Papua. Peristiwa tersebut bermula munculnya surat edaran ilegal pada 11 Juli 2015 dari GIDI terkait larangan salat idul fitri dengan tembusan kepada Bupati Kabupaten Tolikara, Ketua DPRD Kabupaten Tolikara, Polres Tolikara, dan Danramil Tolikara. Akan tetapi, Bupati Talikora dan Presiden GIDI membantah terkait adanya edaran surat tersebut.

Pada surat tersebut disebutkan bahwa GIDI selalu melarang Agama lain dan gereja Denominasi lain tidak boleh mendirikan tempat-tempat ibadah di Wilayah Kabupaten Tolikara. Imbasnya, tepat bertepatan dengan kongres dan kebaktian kebangunan rohani (KKR) GIDI Internasional yang berlangsung di Tolikara sejak sebulan sebelumnya, hingga  edaran surat tersebut menyulut emosi dan menggerakan peserta kongres untuk merusuhi jemaah salat idul fitri. Pelemparan batu pun terjadi oleh peserta kongres.

Peristiwa tersebut menyebabkan kritikan keras oleh berbagai pihak masyarakat terhadap kinerja Aparat keamanan. Beberapa pihak masyarakat menganggap bahwa aparat keamanan tidur,lemah dan tidak melaksanakan antisipasi dan deteksi dini terhadap kerusuhan di Tolikara. Dalam hal ini aparat keamanan di anggap sebagai pihak yang paling bersalah. Ada dugaan terkait aparat keamanan bahwa aparat keamanan tiba-tiba menyerang peserta kongres yang merusuhi jemaat salat id. Dugaan-dugaan tersebut ditentang oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Tedjo Edhy Purdijatno. Ia mengatakan bahwa aparat keamanan telah melakukan antisipasi terhadap kejadian tersebut. Hal ini dibuktikan dengan aparat yang hadir di tempat itu dan bertugas mengamankan jalannya shalat Id dan acara yang dilaksanakan GIDI. Namun, kemudian ada sekelompok besar warga ke lokasi tersebut. Aparat keamanan berusaha meredam situasi dengan melepaskan tembakan peringatan. Ia juga mengatakan bahwa prosedur yang dilakukan oleh aparat keamanan sudah tepat yaitu dengan arah tembakan ke atas baru setelah itu arah tembakan ke bawah.

Lecehan terhadap aparat keamanan juga ditentang oleh Kepala Bada Intelijen Negara (BIN), Sutiyoso. Ia mengemukakan bahwa jajaran aparat keamanan seperti interpol, TNI, intel Polri dan intel lainnya sudah mengantisipasi sebelum terjadinya kerusuhan di Tolikara. Ia menjelaskan langkah antisipasi itu dapat dilihat dengan rapat Koordinasi Kapolres yang menghadirkan semua pihak seperti perwakilan GIDI dan beberapa tokoh agama. Dari rapat tersebut dihasilkan dua poin penting, pertama mencabut surat edaran GIDI karena tidak ditandatangani Presiden GIDI dan yang kedua, anggota rapat sepakat agar Solat Idul Fitri tetap dilaksanakan. Dari hasil rapat tersebut dapat dibuktikan dengan penjagaan oleh Polri pada hari terjadinya kerusuhan tersebutdengan jumlah 42 aparat keamanan yang terdiri dari Polres, Koramil, dan Batalyon.

Dari pernyataan dua tokoh diatas dapat diketahui bahwa sebenarnya aparat keamanan telah membuat antisipasi terkait kerusuhan Tolikara. Hal ini dapat dilihat pada penurunan personel aparat keamanan ke lapangan yang berjumlah 42 aparat keamanan untuk menjaga dan mengamankan berlangsungnya salat idul fitri.

Kerusuhan Tolikara ini sempat menyulut emosi masyarakat di beberapa daerah. Beberapa daerah yang berpotensi konflik paska kerusuhan Tolikara adalah Maluku, Poso (Sulawesi Tengah), Aceh, Lampung, Bima (NTB) dan Madura. Potensi konflik hanya sebatas potensi konflik dan tidak meluas hingga terjadi kerusuhan serupa layaknya di Tolikara. Hal ini dikarenakan aparat keamanan sigap dan cekatan dalam menangani peristiwa di Tolikara. Paska kerusuhan, aparat keamanan segera menjalin komunikas dengan beberapa tokoh adat, agama, dan pemuda di Tolikara guna meredam kericuhan. Di lain daerah aparat keamanan juga mengamankan beberapa tempat ibadah guna meredam potensi konflik yang berlanjut kepada kericuhan. Seperti di ibu kota, aparat keamanan telah melakukan penjagaan yang ketat di beberapa gereja.

Terkait penembakan yang menyebabkan meninggalnya satu orang dan sebelas orang luka, aparat keamanan tidak serta merta menembak begitu saja. Aparat keamanan akan melakukan penembakan jika aksi anarkis dari oposisi akan mengancam keselamatan jiwanya. Pemberitaan di media banyak yang menyudutkan aparat keamanan pada penembakan tersebut pada posisi yang paling bersalah.

Salah besar jika menganggap aparat keamanan tidur dan pihak yang bersalah. Mereka telah melaksanakan kerja mereka dengan baik dan benar. Hanya saja prestasi mereka selalu dibolak-balik oleh beberapa kelompok berkepentingan agar citra aparat keamanan selalu buruk di masyarakat. Sebagai warga negara yang baik mari kita dukung aparat keamanan Indonesia agar selalu sigap dan tegas dalam menjalankan tugasnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline