Lihat ke Halaman Asli

Berwisata ke Pantai Parangtritis

Diperbarui: 12 November 2021   10:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Tahun lalu, aku dan kakak sepupuku pergi ke Jogja untuk menghabiskan waktu liburan kenaikan kelas disana. Kami berangkat dari Surabaya pukul lima pagi dan tiba di Stasiun Jogja pukul dua belas siang. Setibanya disana, kami memesan kendaraan mobil lewat aplikasi online untuk mengantarkan ke sebuah penginapan milik keluarga kami.

Setibanya di Penginapan, aku dan kakak sepupuku memilih untuk beristirahat sejenak, hanya sekedar cuci muka dan sholat dhuhur. Setelahnya kami berdua pergi ke luar penginapan, dan tak kusangka, ternyata lokasi penginapan tersebut tidak jauh dari Pantai Parangtritis sehingga memudahkan kami untuk menikmati pemandangan laut dari kejauhan. Dengan cuaca berawan dan semilir angin yang terasa sejuk, membuat kami sangat bersyukur masih bisa menghirup udara segar disana.

Tidak menunggu lama, kami berdua segera izin pamit pada Paman untuk berjalan-jalan disekitar tepi pantai. Namun sebelum menuju ke pantai, kakak sepupuku mengingatkanku tentang mitos yang ada di Pantai Parangtritis. Kakakku pernah mendengar dari warga setempat. Menurut pengakuan warga di sekitar Pantai Parangtritis setiap malam sekitar pukul 1-2 dini hari, sayup-sayup terdengar suara gamelan dari arah pantai. Padahal pantai sedang sepi. Dan konon rombongan Nyi Roro Kidul itu sedang lewat dari Pantai Parangtritis menuju Gunung Merapi. Entah hal ini betul atau tidak, yang jelas banyak saksi sudah mendengar sendiri suara gamelan di tengah malam. Jujur saja saat kakakku bercerita bulu kudukku langsung berdiri, karena menurutku cerita itu menyeramkan. Dan masih ada mitos lain yang beredar yaitu larangan menggunakan pakaian warna hijau saat berkunjung ke Pantai Parangtritis. Konon katanya, karena warna hijau adalah warna kesukaan Nyi Roro Kidul. Terlepas dari benar atau tidaknya mitos Pantai Parangtritis, ada baiknya kita menghormati budaya masyarakat lokal disana dan angan sampai menantang atau merusak alam.

Setelah bercerita mengenai mitos tersebut, kami segera pergi ke pantai. Namun tiba-tiba seluruh badanku mendadak menggigil. iya, aku kedinginan. Kakak sepupuku begitu mencemaskan kondisiku namun aku selalu mengatakan bahwa aku baik-baik saja, mungkin karena aku tidak terbiasa dengan hawa seperti ini. Lepas dari itu kami berdua menikmati desiran ombak laut dan pasir-pasir putih di tepi laut. Disana banyak sekali turis yang berdatangan. Mayoritas orang-orang asing itu menikmati waktu berjemur, dan sebagian lainnya dengan aktivitas olahraga air.

Tiba-tiba saja terlintas dipikiranku ingin berenang, tapi kakak sepupuku tidak memberi izin. Jadi, kami hanya menikmati ombak laut di tepi pantai sambil memotret pemandangan yang ada disana.

Tidak berselang lama, Pamanku menghampiri kami berdua yang tengah menimati air kelapa di sebuah warung kecil sekitar pantai. Ternyata Pamanku hanya khawatir karena kami tidak segera balik ke penginapan padahal waktu sudah menjelang sore. Dan setelah itu kami berdua memutuskan untuk balik ke penginapan setelah menyelesaikan kegiatan makan dan minum yang kami pesan tadi. Tentu saja kami puas menikmati suasana pantai, makanan dan minuman yang ada disana, dan puas mengambil gambar pemandangan indah dari obyek manapun. Setelah itu kami pun balik ke penginapan untuk membersihkan diri dan beristirahat. Kami berlibur ke Jogja selama tiga hari. Berbagai pengalaman selama aku di Jogja, terutama di Pantai Parangtritis, tidak akan aku lupakan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline