Segudang pertanyaan mengelayut, benarkah pemerintah telah mampu mengurangi laju pemutusan hubungan kerja? Apakah regulasi sapu jagad mampu menjembatani antara kepentingan dunia usaha dengan pemerataan kesejahteraan pekerja ? bak cendawan di musim hujan, agenda Job Fair Mingguan muncul di ragam tempat dan waktu, tujuannya tentu meningkatkan peran sektor padat karya untuk mengurangi beban ekonomi akibat tingkat pengangguran yang semakin mengkhawatirkan.
Job Fair hanyalah salah satu solusi guna mempermudah pencari kerja memperoleh pekerjaan yang layak, disamping memuluskan jalan perusahaan mendapatkan kandidat pekerja terbaik.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada Agustus 2024 tercatat sebesar 4,91% setara dengan 7,47 juta orang, patut dicermati bahwa TPT di perkotaan (5,79%) lebih tinggi dibandingkan di pedesaan (3,67%). variasi komponen TPT di dominasi oleh lulusan SMK sebesar 8,92%, disusul lulusan Diploma sebesar 6,89% dan lulusan perguruan tinggi sebesar 5,87%, adapun TPT terendah terdapat pada rentang pendidikan sekolah dasar (SD) dengan nilai dibawah 2,38%.
Laju TPT terutama terkait dengan kesenjangan antar wilayah dan kualitas satuan pendidikan, serta kurangnya upaya pelatihan vokasi yang bisa melakukan fungsi pemerataan kesempatan kerja.
Secara filosofis peran Job Fair dalam menurunkan TPT dapat dianalisi melalui tiga perspektif yaitu pendekatan fungsionalisme, eksistensialisme, dan teori keadilan sosial.
Fungsionalisme Job Fair
Pendekatan fungsionalisme menekankan pada berbagai elemen dalam masyarakat untuk menjaga keseimbangan sosial. Job fair dapat dipandang sebagai mekanisme alami untuk menciptakan keterhubungan anatar individu (pencari kerja) dengan sistem ekonomi (penyedia pekerjaan). Pada konteks kemajuan teknologi hari ini, Job Fair mampu dielaborasikan sebagai fungsi manifest yaitu sarana langsung mempertemukan dua kepentingan (pencari dan penyedia kerja), dan fungsi laten yaitu meningkatkan networking untuk mendorong pencari kerja mempersiapkan kompetensi dan keahlian dengan tujuan "dilirik" penyedia kerja. Dengan demikian Job Fair mampu menjaga keseimbangan sosial dengan menerapkan pengalokasian sumber daya manusia secara tepat guna dan daya secara efisien.
Proyek Keberadaan (raison d'etre)
Suka tidak suka kita tetap mengakui bahwa pentas Job Fair memberikan andil terhadap eksistensi manusia bukan hanya persoalan kebutuhan ekonomi semata. Alienasi hubungan antar manusia terkikis oleh penyadaran potensi diri melalui interaksi antara pekerja dan penyedia kerja serta memberikan kesempatan bagi individu untuk menentukan pekerjaan sesuai minat, keahlian, dan nilai hidupnya.
Kompensasi untuk Kelompok Rentan
Aksestabilitas dan kesetaraan adalah nilai utama dari terselenggaranya Job Fair. Kepentingan antara pekerja dan penyedia kerja sama-sama diberikan ruang dialektika yang setara dan adil sehingga mengurangi asimetri informasi. Rancangan kegiatan Job Fair pun diharapkan menjangkau kelompok rentan seperti pengangguran muda, lulusan baru, atau penyandang disabilitas. Hal ini mencerminkan prinsip justice as fairness, dimana kebijakan harus berpihak pada kelompok masyarakat terpinggirkan. Dengan memberikan akses yang lebih adil terhadap kesempatan kerja, maka Job Fair berkontribusi pada pengurangan kesenjangan sosial-ekonomi dan sebagai wujud konkret untuk menciptakan masyarakat yang lebih berdaya.
Akhirul kalam, dengan upaya tersebut Job fair berupaya tidak dimaknai sebagai program latah yang kerap menjadi persoalan serius di negeri ini, namun sebagai barometer untuk melahirkan ruang bersama yang adil dan bermartabat, baik secara struktural (fungsionalisme), individu (eksistensialisme), dan moral (teori keadilan). Tabik !!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H